Kamis, 22 Oktober 2009

KONSEP AKUNTANSI SYARIAH

TEORI AKUNTASI SYARI’AH

Teori merupakan seperangkat asas hipotesis, konseptual dan pragmatis yang terjalin satu sama lain yang membentik suatu kerangka acuan untuk suatu bidang pengetahuan. Jadi teori akuntansi dapat diartikan sebagai suatu penalaran logis dalam bentuk seperangkat asas atau prinsip yang : (1) menjadi kerangka acuan umum untu menilai praktik-praktik akuntansi, dan (2) menjadi pedoman bagi pengembangan praktik-praktik dan prosedur yang baru. Teori akuntansi dapat dipergunakan untuk memperjelas prakti-praktik yang sekarang berjalan, tetapi tujuan utama teori akuntansi adalah mengadakan suatu kerangka acuan untuk menilai dan mengembangkan praktik-praktik akuntansi yang sehat.
Akuntansi syari’ah, sebagaimana telah dijelaskan kerangka teori sebagai berikut:













Gambar 4.1. Kerangka Teori Akuntansi Syari’ah
Berdasarkan gambar 4.1, maka syari’ah menjadi sumber teori akuntansi syari’ah. Syari’ah adalah etika bagi Muslim; ia merupakan pedoman hidup dan way of life bagi Muslim. Tujuan akuntansi syari’ah adalah turunan dari syari’ah tersebut. Dengan demikian, syari’ah menjadi sumber dari segala elemen kerangka teori akuntansi syari’ah, baik dalam perumusan tujuan laporan keuangan, konsep dasar, konsep atau prinsip, dan tehnik akuntansi. Bagian ini membahas laporan keuangan akuntansi syari’ah, kemudian konsep dasar akuntansi syari’ah, konsep (prinsip) akuntansi syari’ah, serta tehnik akuntansi syari’ah.

Tujuan Laporan Keuangan Akuntansi Syari’ah
Tujuan akutansi syari’ah dibedakan dengan tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah. Tujuan akuntansi syari’ah berdasarkan pada tujuan ekonomi Islam, yaitu pemerataan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dan tidak hanya diperuntukan pada seseorang atau segolongan orang saja.oleh sebab itu, Islam menyediakan sarana untuk pemerataan kesejahteraan dengan sistem zakat, infak, sedekah, dan sistem tanpa bunga. Pelaporan keuangan dan sistem akuntansi dalam Islam didesain sesuai dengan sistem ekonomi dan bisnis Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah (Hadis). Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku ”; Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus “; Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu; Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu..... “; Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya kepadamu... . Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa tujuan hidup manusia- dalam seluruh aktivitasnya – adalah beribadah kepada Allah. Hal ini mencakup aktivitas ekonomi dan di dalamnya adalah akuntansi. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, maka tujuan akuntansi syari’ah adalah pertanggungjawaban (accountability), baik pertanggungjawaban terhadap Allah, pihak-pihak yang berhak atas perusahaan, maupun alam. Akuntanbilitas bukan hanya suatu kewajiban untuk melaporkan pelaksanaan aktivitas dan transaksi ekonomi, namun kewajiban untuk melaksanakan atau untuk tidak melaksanakan aktifitas yang tidak sesuai syari’ah. Akuntansi syari’ah juga menjadi sarana memberikan informasi kepada pihak internal dan eksternal perusahaan. Oleh karena itu, beberapa penulis menetapkan pertanggungjawaban dan informasi sebagai tujuan akuntansi syari’ah. Akuntanbilitas merupakan representasi dari unsur spirit-ruh, jiwa-atau etika, atau unsur ukhrawi, atau unsur feminin, sedangkan informasi merupakan representasi unsur materi, atau unsur ekonomi, atau unsur duniawi, atau unsur maskulin.
Tujuan informasi (laporan keuangan) akuntasi syari’ah, dengan demikian harus memenuhi kewajiban pertanggungjawaban (accountability) dan informasi. Tujuan ini harus diwujudkan dama bentuk bagaimana seseorang dapat menghitung kewajiban zakatnya secara benar. Oleh karena itu, maka tujuan utama (main objective) laporan keuangan adalah untuk penentuan zakat. Tujuan utama laporan keuangan akuntansi syariah, yakni zakat, dapat didampingi oleh tujuan-tujuan praktis (current objectives of accounting information) sejauh tujuan-tujuan tersebut tidak bertentangan dengan syariah. Tujuan-tujuan tambahan tersebut diantaranya: memelihara harta; membantu dalam mengambil keputusan; menentukan dan menghitung hak-hak mitra berserikat; menentukan imbalan, balasan, atau sanksi.

Konsep Dasar Akuntansi Syariah
Konsep dasar (basic consepts/basic feature) disebut juga asumsi atau postulat, adalah aksioma atau pernyataan yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya karena secara umum telah diterima kesesuaiannya dengan tujuan laporan keuangan, dan menggambarkan lingkungan ekonomi, politik, sosial, dan hukum dimana akuntansi beroperasi. Jelas bahwa penentuan konsep dasar dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan di mana akuntansi beroperasi. Ia diturunkan dari tujuan laporan keuangan berfungsi sebagai fondasi bagi prinsip-prinsip akuntansi. Sebagaimana dibahas sebelumnya, tujuan laporan keuangan akuntansi syariah adalah untuk memberikan pertanggungjawaban dan informasi. Menurut Belkoui, seperti dikutip oleh Rosjidi, konsep dasar akuntansi adalah entitas akuntansi, kesinambungan, unit pengukuran, dan periode akuntansi, yang masing-masing konsep dasar dibahas di bawah ini:
1. Entitas Bisnis (Business Entity/al-Wihdah al-Iqtishadiyah)
Entitas atau kesatuan bisnis adalah perusahaan dianggap sebagai entitas ekonomi dan hukum terpisah dari pihak-pihak yang berkepentingan atau para pemiliknya secara pribadi. Syahatah menyebutnya sebagai kaidah independensi jaminan keuangan. Oleh karena itu seluruh transaksi keuangan dan informasi akuntansi hanya berhubungan dengan entitas dimaksud-perusahaan-yang membatasi kepentingan para pemiliknya.

2. Kesinambungan (going concern).
Konsep ini merupakan suatu konsep yang menganggap entitas akan berjalan terus, apabila tidak terdapat bukti sebaliknya. Ini didasarkan pada pengertian bahwa kehidupan ini juga berkesinambungan. Manusia memang akan fana, tapi Allah akan mewariskan semua yang ada di alam ini. Maka, seorang Muslim yakin bahwa anak-anaknya dan saudara-saudaranya akan meneruskan aktifitas itu setelah ia meninggal. Mereka juga yakin bahwa harta yang diperoleh dari aktifitas kerjanya itu adalah milik Allah, seperti firman Allah, “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan nafkahkanlah sebagian harta kamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya... . Hal ini dapat dikaitkan dengan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut, Allah menyayangi orang yang mencari nafkah yang baik dan menafkahkannya secara sederhana (tidak berlebih-lebihan) serta menabung sisanya untuk persiapan pada hari ia membutuhkan dan pada hari fakirnya. Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata, “berusahalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya dan berusahalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok hari” . Pengaplikasian kaidah ini adalah untuk penentuan dan penghitungan laba serta menghitung harga-harga sisa suplai untuk tujuan penghitungan zakat harta. Dari sini dapat dipahami bahwa perhitungan zakat itu berdasarkan kesinambungan (kontinuitas) sebuah perusahaan dan bukan berdasar penutupan atau likuidasi suatu perusahaan. Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai masalah ini.

3. Stabilitas Daya Beli Unit Moneter (The Stability of the Purchasing Power of the Monetary Unit).
Postulat ini merupakan term yang digunakan oleh Adnan dan Gaffikin terhadap suatu term yang biasanya disebut “unit pengukuran (unit of measure) atau “unit moneter (moneter unit) seperti digunakan oleh beberapa penulis buku. Postulat ini menunjukkan pentingnya menilai aktifitas-aktifitas ekonomi dan mengesahkannya atau menegaskannya dalam surat-surat berdasarkan kesatuan moneter, dengan memposisikannya sebagai nilai-nilai terhadap barang-barang, serta ukuran untuk penentuan harga dan sekaligus sebagai pusat harga. Mempertimbangkan bahwa uang yang biasa dipahami dalam akuntansi konvensional -uang kertas dan logam-, rentan terhadap ketidakstabilan, maka satuan maneter yang memenuhi syarat postulat ini adalah mata uang emas dan perak. Mata uang emas dan perak tidak mengenal dikotomi nilai nominal dan nilai intrinsik, nilai uang emas dan perak adalah senilai emas dan peraknya. Hal inilah yang menyebabkan uang emas dan perak resisten terhadap efek inflasi. Pada zaman Rasulullah Saw., satu dirham (uang perak) senilai seekor ayam, satu dinar adalah nilai tukar seekor kambing dewasa, harga ini berlaku sampai sekarang. Mempertimbangkan kompleksitas lingkungan bisnis masa sekarang, pengaplikasiannya menjadi satu hal yang tidak dapat diterapkan sepenuhnya. Dalam suatu negara yang tidak menggunakan mata uang emas dan perak, postulat ini jelas tidak dapat dipenuhi. Beberapa pakar akuntansi menjadikan ini sebagai rukhsah (keringanan) sebagai suatu kondisi darurat, untuk dapat menggunakan standar nilai uang sebagai unit pengukuran, selama belum ada solusi yang mampu mengatasinya. Penulis berharap akan ada usaha menuju perbaikan ke arah penerapan standar emas dan perak ini, secara bertahap.

4. Periode Akuntansi.
Dalam Islam, ada hubungan erat antara kewajiban membayar zakat dengan dasar periode akuntansi (haul). Hal ini sehubungan dengan sabda Rasulullah Saw., “Tidak wajib zakat pada suatu harta kecuali telah sampai haulnya. Berdasarkan hadis ini, setiap Muslim secara otomatis diperintahkan untuk menghitung kekayaannya setiap tahun untuk menentukan besarnya zakat yang harus ia bayar . Mengenai waktu pembayarannya, bila menggunakan kalender Hijriyah, maka awal tahun penghitungan zakat adalah bulan Muharram. Adapun bila menggunakan kalender Masehi, awal tahun adalah bulan Januari.

Prinsip Akuntansi Syariah
Prinsip akuntansi syariah merupakan aturan keputusan umum yang diturunkan dari tujuan laporan keuangan dan konsep dasar akuntansi syariah yang mengatur pengembangan tehnik akuntansi syariah. Prinsip-prinsip akuntansi syariah sebagai berikut:
1. Prinsip pengungkapan penuh (full disclosure principle)
Prinsip ini mengharuskan laporan akutansi untuk mengungkapkan hal-hal yang penting agar laporan tersebut tidak menyesatkan . Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan pemenuhan hak dan kewajiban kepada Allah, masyarakat, dan individu yang berkepentingan dengan perusahaan . Dengan demikian, akuntansi syariah dilandasi oleh nilai kejujuran dan kebenaran, sebagaimana telah diperintahkan Allah SWT,”.... hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis .

2. Prinsip konsistensi ( consistensy principle)
Prosedur akuntansi yang digunakan oleh suatu entitas harus sesuai untuk pengukuran posisi dan kegiatannya dan harus dianut secara konsisten dari waktu ke waktu , sesuai denga prinsip yang dijabarkan oleh syariah . Penekanan pada konsisten terhadap prinsip yang sesuai dengan syariah berarti tak ada konsistensi terhadap suatu prinsip yang tidak sesuai syariah, sehingga apabila pelaporan menggunakan prinsip akuntansi yang tidak sesuai syariah dan harus dilakukan penyesuaian atas perubahan prinsip akuntansi, dan hal ini harus dilaporkan dalam laporan keuangan. Prinsip konsistensi menyebabkan penggunaan prinsip yang sesuai dengan prinsip syariah tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dalam periode-periode selanjutnya.

3. Prinsip dasar akrual (accrual basis principle)
Akrual (accrual) diartikan sebagai proses pengakuan non-kas dan keadaanya pada saat terjadinya. Akrual mengakibatkan pengakuan pendapatan berarti peningkatan aset dan beban berarti peningkatan kewajiban sebesar jumlah tertentu yang diterima atau dibayar-biasanya dalam bentuk cash-dimasa depan . Penentuan hasil usaha periodik dan posisi keuangan perusahaan dipengaruhi oleh metode pengakuan dan pengukuran atas sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan, serta seluruh perubahannya pada saat realisasi penerimaan atau pengeluaran uang (cash basis) . Dasar akrual ini berhubungan erat dengan postulat periode akuntansi. Dengan kata lain, pengaplikasian dasar akrual merupakan konsekuensi dari postulat periode akuntansi .
Sejalan dengan tujuan akuntansi syariah sebagai sarana penentuan zakat, Syahatah menyatakan, “Adapun untuk penghitungan zakat mal, tidaklah perlu untuk menunggu pencairan (cash) harta itu. Memang, hakikat laba akan lebih jelas dengan adanya jual beli, tetapi yang menjadi patokan penghitungan zakat itu ialah pada penentuan nilai atau harga, bukan dengan nyatanya laba dengan jual beli .



Namun prinsip itu menemukan pengecualian dalam syirkah mudarabah yang bersifat sementara, yaitu pendapatan diakui dengan dasar kas (cash basis) . Hal ini disebabkan syirkah mudarabah yang sifatnya sementara, kelangsungan usahanya sebatas kontrak yang disetujui, biasanya relatif pendek.

4. Prinsip nilai tukar yang sedang berlaku (exchange value general level price)
Penilaian dan pengukuran harta, utang, modal, laba, serta elemen-elemen lain laporan keuangan akuntansi syariah, menggunakan nilai tukar yang sedang berlaku. Imam Malik, mengenai hal ini, berpendapat bahwa dalam syirkah mudarabah, jika pemilik harta ingin melakukan penghitungan harta sebelum semua barang terjual, yang dinilai adalah barang-barang yang masih tersisa berdasarka harga jual waktu itu dan penghitungan dilakukan dengan cara seperti ini. Namun padabarang yang masih mempunyai pasar- belum terjual dan masih bertahan di pasar -, barang-barang ini dinilai berdasarkan nilai jual yang mungkin .

5. Prinsip penandingan (matching).
Prinsip penandingan menyatakan bahwa beban (expense) harus diakui pada periode yang sama dengan pendapatan (revenue). Hubungan terbaik dapat dicapai ketika hubungan tersebut menggambarkan hubungan sebab-akibat antara biaya dan pendapatan. Jika laba dilaporkan secara bertahap sepanjang keseluruhan proses operasi perusahaan, pengukuran aktiva bersih perusahaan akam meningkat tatkala nilai ditambahkan oleh perusahaan. Dalam kasus ini, tidak ada keperluan untuk konsep penandingan. Akan tetapi, karena transaksi pendapatan dan beban dilaporkan secara terpisah, karena perolehan dan pembayaran barang dan jasa biasanya tidak bersamaan dengan proses penjualan dan penagihan berkaitan dengan produk yang sama dari perusahaan, penandingan harus dianggap diperlukan, atau setidaknya suatu ketentuan yang diinginkan. Tenggang dan kesenjangan dalam perolehan dan penggunaan, dan pembayaran dan jasa diasumsikan menjadi alasan untuk akrual dan penanguhan untuk menandingkan bebabn dengan pendapatan yang berhubungan . Bagaimanapun, prinsip penandingan mampu menunjukkan konsep dasar akrual daripada konsep dasar kas .
Beberapa prinsip akuntansi konvesional tidak sesuai dengan akuntansi syariah, di antaranya: prinsip konservatisme, prinsip biaya historis, prinsip objektivitas, dan prinsip materialistas. Berikut ini penjelasan penolakan syariah terhadap masing-masing prinsip:
1. Prinsip konservatisme (conservatism principle). Prinsip konservatisme merupakan prinsip pengecualian atau modifikasi, artinya bahwa prinsip tersebut bertindak sebagai batasan untuk penyajian data akuntansi yang relevan dan dapat dipercaya . Prinsip ini menyatakan bahwa ketika memilih diantara dua atau lebih tehknik akuntansi yang dapat diterima, maka preferensinya adalah memilih yang paling kecil dampaknya terhadap ekuitas pemegang saham. Prinsip ini, dalam akuntansi konvesional berkaitan dengan ketidakpastian, umumnya digunakan untuk mengartikan bahwa akuntan harus melaporkan yang terendah dari beberapa nilai yang mungkin untuk aktiva dan pendapatan; dan yang tertinggi dari beberapa nilai yang mungkin untuk kewajiban dan beban. Ini berarti bahwa beban harus diakui segera dan pendapatan harus diakui nanti, bukan segera. Oleh karena itu, aktiva bersih lebih cenderung diakui dibawah nilai harga pertukaran kini daripada di atasnya; dan perhitungan laba mungkin menghasilkanyang terendah dari beberapa jumlah alternatif. Jadi, pesimisme diasumsikan lebih baik daripada optimisme dalam pelaporan keuangan . Hendriksen dan Breda menilai prinsip konservatisme ini sebagai metode yang sangat buruk untuk menghitungkan adanya ketidakpastian dalam penilaian dan laba. Konservatisme mempunyai pengaruh yang berubah-ubah, oleh karena itu data yang dikumpulkan secara konservatif tidak dapat diinterprestasikan dengan tepat bahkan oleh pembaca yang sangat terinformasi. Konservatisme juga bertentangan dengan tujuan mengungkapkan semua informasi yang relevan . Berdasarkan sifat-sifatnya tersebut, secara jelas dan mudah dipahami bahwa prinsip ini tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, bagi akuntansi syariah, bahkan secara logis, prinsip konservatisme tidak dapat diterima .
2. Prinsip biaya historis (historical cost principle) menyatakan bahwa aset, kewajiban, beban, keuntungan, kerugian, dinilai sebesar nilai perolehan. Metode pengukuran beban dan kerugian konvesional adalah dalam pengertian biaya historis dalam perusahaan. Prinsip ini tidak mungkin dipakai untuk menentukan besarnya zakat karena penentuan zakat menggunakan nilai sekarang, sebagaimana firman Allah:
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buhnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan yang tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila ia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan .

Perintah mengeluarkan zakat dengan ungkapan “ ... dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya. Menegaskan bahwa zakat berdasarkan harta yang dihitung dengan nilai sekarang. Prinsip biaya historis juga tidak sejalan dengan konsep dasar stabilitas daya beli unit moneter.
3. Prinsip obyektivitas (objectivity principle). Kegunaan informasi keuangan tergantung pada tingkat reliabilitas prosedur pengukuran yang digunakan. Karena menjamin reliabilitas maksimum sangat sulit, akuntansi konvesional telah menggunakan prinsip objektivitas untuk menjustifikasi pemilihan prosedur pengukuran yang digunakan. Prinsip objektivitas, bagaimanapun, telah menjadi objek interprestasi yang berbeda:
a. Pengukuran objektivitas merupakan pengukuran yang tidak bersifat personal dalam pengertian bebas dari bias personal pengukurnya. Dengan kata lain, objektivitas merujuk pada realitas eksternal yang independen dari orang yang menerimanya;
b. Pengukuran objektivitas merupakan pengukuran variabel dalam pengertian bahwa pengukuran didasarkan pada bukti;
c. Pengukuran objektivitas merupakan hasil konsensus diantara kelompok pengamat atau pengukur tertentu. Pandangan ini juga memandang bahwa objektivitas tergantung pada kelompok tertentu.
Dalam akuntansi konvesional, prinsip obyektivitas dilaksanakan untuk memenuhi karakteristik reliabel dan netralitas, di mana karakteristik ini diadakan untuk tujuan sekunder (current objective) informasi akuntansi, yakni membantu dalam pembuatan keputusan ekonomi. Namun demikian, prinsip objektivitas yang mempunyai interprestasi-interprestasi di ats, tdak sejalan dengan tujuan utama (the time pime objective) laporan keuangan akuntansi syariah yaitu zakat. Zakat merupakan aturan yang pasti ketentuannya, besarnya telah ditetapkan dalam syariah.
4. Prinsip matrealitas (materiality principle). Seperti halnya prinsip konservatisme, materialitas merupakan prinsip pengecualian atau modifikasi. Prinsip ini menyatakan bahwa transaksi dan peristiwa yang tidak memiliki dampak ekonomi yang signifikan dapat diatasi dengan cara yang paling tepat, apakah transaksi dan peristiwa tersebut sesuai dengan prinsip yang diterima umum atau tidak, dan tidak perlu diungkapkan. Materialitas berlaku sebagai petunjuk implisit bagi akuntan, dalam arti apa yang seharusnya diungkapkan dalam laporan keuangan, memungkinkan akuntan untuk memutuskan apa yang tidak penting atau apa yang tidak, menjadi masalah dalam pencatatan kos (biaya), keakuratan laporan keuangan, dan relevansinya bagi pengguna. Karena mengabaikan sejumlah nilai-baik kecil maupun besar- yang dianggap tidak meterial, prinsip ini bertentangan dengantujuan utama laporan keuangan akuntansi syariah, yakni bahwa zakat harus dihitung berdasakan nilai yang sesungghnya.

Ruang Lingkup Kerangka Konseptual Akuntansi Syariah
Kerangka konseptual menjadi pedoman utama bagi pengembangan akuntansi. Kerangka konseptual akuntansi adalah sistem koheren yang berhubungan dengan tujua-tujua (objectives) dan konsep-konsep (fundamentals) yang mendasari akuntansi yang diharapkan bisa menurunkan standar-standar yang konsisten dalam mwenggambarkan sifat, fungsi, dan keterbatasan akuntansi . Konsep-konsep yaitu pedoman dalam menyeleksi sebagai transaksi dam kejadian, keharusan memperhitungkan, pengakuan, pengukuran, serta pengikhtisaran dam pengkomunikasiannya pada pihak-pihak yang berkepentingan. Fundamental adalah konsep-konsep yang mendasari akuntansi dan pelaporannya . Untuk lebih memahami posisi unsur-unsur tersebut dalam kerangka konseptual akuntansi, dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:















Gambar 4.2: Kerangka Konseptual Akuntansi

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa pada level pertama, objectives (tujuan) mengindentifikasi maksud dan sasaran akuntansi. Level kedua, fundamental meliputi karakteristik kualitatif informasi akuntansi dan definisi elemen-elemen laporan keuangan. Level ketiga adalah petunjuk operasional yang digunakan akuntan dalam menetapkan dan menerapkan standar akuntansi meliputi kriteria pengakuan, laporan keuangan versusu pelaporan keuangan dan pengukuran. Level keempat, mekanisme penyajian yang digunakan akuntansi untuk menyampaikan akuntansi yang meliputi pelaporan earnings (laba maupun hasil), pelaporan dana dan likuiditas, dan pelaporan posisi keuangan.
Berdasarkan gambar di atas, pembahasan laba harus didahului oleh pembahasan konsep: tujuan laporan laba; elemen-elemen laporan laba; karakteristik kualitatif informasi keuangan-dalam hal ini adalah laporan laba-; serta pengakuan dan pengukuran elemen-elemen tersebut. Laporan keuangan (financial statement) dibedakan dengan pelaporan keuangan (financial reporting). Laporan keuangan adalah informasi keuangan yang disusun dan disiapkan oleh manajemen, terdiri dari neraca,laporan laba rugi, laba komprehensif, laporan arus kas, laporan investasi dan distribusinya dari dan kepada para pemilik; yang kesemua bentuk laporan itu diosebut full-set laporan keuangan formal. Pelaporan keuangan adalah pengkomunikasian informasi keuangan yang tidak terbatas pada full-set laporan keuangan formal saja, tetapi termasuk juga informasi keuangan lainnya-misalnya: prediksi dan ekspetasi keuangan yang diharapkan oleh manajemen pada masa yang akan datang-; release berita keuangan terbaru; dan sumber-sumber aktiva, kewajiban, pendapatan, serta timbulnya biaya atau beban perusahaan-dan informasi nonkeuangan-misalnya: informasi mengenai dampak terhadap lingkungan sosial (sosial environment) dari operasi perusahaan.
1. Tujuan pelaporan laba
Merujuk pada tujuan laporan keuangan akuntansi syariah, maka tujuan pelaporan laba yaitu untuk memenuhi pertanggunganjawaban dan informasi, dan diderivasikan pada penentuan zakat. Dalam fikih Islam, laba wajib dikenai zakat jika telah satu tahun dan memenuhi nisab .

2. Karakteristik kualitatif laporan keuangan
Kerangka konseptual karakteristik kualitatif informasi akuntansi ini berhubungan dengan ciri spesifik dari kualitas informasi akuntansi yang harus dipenuhi agar memenuhi tujuan kegunaannya sebagai pertanggungjawaban dan informasi. Secara umum, laporan keuangan akuntansi syariah harus bisa menunjujkan ciri ketakwaan dan keimanan. Ciri tersebut diantaranya: dapat dipahami, tepat waktu, keandalan, penyajian yang jujur, daya banding, dan kelengkapan. Berikut ini akan dibahas masing-masing karakter:
a. Dapat dipahami (understandability), adalah yang dapat membantu atau memberi kesempatan kepada para pemakai informasi untuk memahami maknanya;
b. Tepat waktu (timely), adalah informasi yang siap digunakan oleh pemakainya, sebelum kehilangan makna dan kapasitasnya;
c. Keandalan (reliability), adalah kualitasinformasi yang menjamin bahwa informasinya bebas dari kesalahan dan penyimpangan (error dan bias) serta telah dinilai dan disajikan secara layak sesuai dengan tujuannua;
d. Penyajian yang jujur (representation faithfulness), adalah kesesuaian antara pengukuran akuntansi dengan fenomenanya, yang menentukan bahwa pokok persoalannya harus terwakili untuk menjamin keabsahan dan kebenaran informasinya;
e. Daya banding (comparability), adalah kualitas informasi yang bermanfaat bagi para pemakainya untuk mengindentifikasi informasi yang berbeda atau sejenis di antara dua kesatuan antitas ekonomi;
f. Kelengkapan (completeness) adalah, informasi yang disajikan tyermasuk semua informasi yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan laporan keuangan.

Jumat, 27 Maret 2009

sosiologi hukum

FLEKSIBILITAS SOSILOGI HUKUM
Dosen STAIN Pekalongan
Kepala Perpustakaan PonPes Modern Al Qur’an Buaran
Ketua Komite MA KH. Syafi’i Buarn


A. Pendahuluan
Hukum telah lama ada dan keberadaannya telah diakui serta digunakan untuk berbagai keperluan. Tetapi hukum yang benar-benar otonom di masyarakat kita tentulah masih menjadi pertanyaan besar karena makna yang ada dibalik hukum yang terbentuk (undang-undang atau peraturan lainnya) seringkali lebih dominan (seperti unsur politik, ekonomi dan kepentingan lain) dibandingkan makna hukum yang berciri keadilan. Otonomi hukum perlu ditumbuhkan agar hukum sebagai suatu sistem tersendiri mempunyai kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat berupa keadilan dan tuntutan ilmu pengetahuan berupa timbulnya teori hukum yang lebih komprehensif.
Membicarakan sosiologi hukum tidak bisa dilepaskan dari fakta atau realitas karena sosiologi hukum berparadigma fakta sosial. Sosiologi hukum merupakan cabang khusus dari sosiologi yang berperhatian untuk mempelajari hukum tidak sebagai konsep-konsep normatif melainkan sebagai fakta sosial. Berparadigma fakta sosial berarti tidak mengkaji nilai, norma atau ide apapun tentang hukum.
Kehadiran disiplin ilmu sosiologi hukum memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara normatif.
Berbeda dengan pemahaman hukum secara normatif, sosiologi hukum adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan Sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum, dampak dan efektifitas hukum, serta kultur hukum.
Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum tersebut di dalam masyarakat. Fungsi tersebut dapat diamati dari beberapa sudut pandang, yaitu sebagai sosial kontrol, sebagai alat untuk mengubah masyarakat, sebagai simbol, sebagai alat politik, maupun sebagai alat integrasi.
Hukum dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Sejak jaman Yunani dan Romawi sampai sekarang hukum mengalami perkembangan yang luar biasa yang mungkin saja orang Yunani dan Romawi dahulu tidak akan dapat memperkirakan hal-hal yang terjadi sekarang dalam bidang hukum. Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari sifat hukum yang selalu berada di tengah-tengah masyarakat sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mengalami perkembangan.
Pendapat yang hendak dikemukakan pada awal tulisan ini adalah apakah hukum itu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat atau sebaliknya masyarakat berkembang karena adanya camput tangan hukum. Jika diikuti jalan pikiran yang pertama maka yang akan dipakai sebagai dasar pijakan adalah ajaran von Savigny mengenai hukum tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat dan jika yang dipakai adalah jalan pikiran yang kedua maka pendekatannya lebih mengarah kepada apa yang telah dikemukakan oleh John Austin yang memandang hukum sebagai perintah dari penguasa yang berdaulat.
Austin memisahkan hukum dan keadilan, ini adalah kekeliruan besar karena bagaimanapun inti hukum adalah keadilan. Pemisahan ini tidak didasarkan pada pengertian baik atau buruk akan tetapi didasarkan pada kekuasaan dari sesuatu yang lebih kuat (the power of a superior). Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa aliran hukum imperatif dari Austin tidak menghendaki hukum yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakatnya sendiri. Hukumnya adalah hukum penguasa yang superior untuk kepentingan penguasa itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dikemukakan di atas hanyalah merupakan suatu gambaran adanya dua sisi yang berbeda dalam pandangan mengenai hukum yang berangkat dari dua sisi yang berbeda?
2. Apa dua pandangan ini menjadi dasar pijakan untuk melihat lebih jauh hukum yang berkembang di Indonesia dalam menghadapi perkembangan jaman ?

B. Landasan Teori
Definisi sosiologi (1839) yang berasal dari kata latin socius yang berarti “kawan” dan kata Yunani Logos yang berarti “kata” atau “bicara”. Jadi sosiologi berarti “bicara mengenai masyarakat” bagi Auguste Comte sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Comte berkata bahwa sosiologi harus dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak kepada spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat.
Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala sosial lain. Ini karena sejak dilahirkan di dunia ini manusia telah sadar bahwa dia merupakan bagian dari kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan manusia tadi memiliki kebuyaan. Selain itu, manusia sebetulnya telah mengetahui, bahwa kehidupan mereka dalam masyarakat pada hakikatnya diatur oleh bermacam-macam aturan dan pedoman.
Sosiologi hukum juga dapat membantu untuk memberikan kejelasan mengenai kemampuan yang ada pada undang-undang serta pengaruh-pengaruh apa saja yang dapat ditimbulkan oleh bekerjanya undang-undang itu dalam masyarakat.

D. Pembahasan
1. Perkembangan Ke Arah Ilmu Hukum Sosiologis
Memasuki Abad XX mulai muncul pemikiran untuk meberikan penjelasan lebih baik terhadap hekakekat hukum dan tempat hukum dalam masyarakat. Ketidakpuasan terhadap positifisme kian berekembang karena paham tersebut acapkali tidak sesuai dengan keadilan dan kebenaran sehingga muncul gerakan-gerakan untuk “melawan” positifisme. Hal itu tampak dari fenomena yang disebut:
1. Donald Black  The age of sociology
2. Morton White  The revolt against formalisme
3. Alan Hunt  The sociological movement in law.
Keadilan kadang sulit terungkap. Jika berhadapan dengan formalisme, dimana hakim dalam suatu kasus kadang sulit untuk membuktikan meskipun yakin kalau si pelaku bersalah.
Menurut Gustav Radbruh hukum harus mengandung tiga nilai idealitas:
1. Kepastian  yuridis
2. Keadilan  Filosofis
3. Kemanfaatan  Sosiologis
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu:
1. Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum
2. Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan hukum
3. Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum  sebagai tetsachenwissenschaaft yang melihat law as it is in the book tidak selalu sama dengan law as it is in society, namun hal tersebut tidak perlu dihakimi sebagai sesuatu yang benar atau salah.

Pohon Ilmu Hukum






2. Nuansa Kolonial Dalam Negara Nasional
Hukum yang ada di Indonesia (minus hukum adat) sebagian besar masih didominasi oleh hukum peninggalan kolonial Belanda melalui produk-produknya yang sekarang masih berlaku dengan berbagai modifikasi, dilengkapi dengan undang-undang baru untuk mengatur bidang yang baru muncul kemudian. Tidak dapat disangkal bahwa pada masa kolonial, hukum tidak digunakan dalam fungsinya yang positif, dalam pengertian tidak digunakan untuk tujuan hukum itu sendiri yaitu memberi keadilan tetapi lebih tepat disebut sebagai alat penjajah untuk memperkuat posisinya dan mendapatkan legitimasi dalam menghukum para pejuang kemerdekaan.
Hukum menjadi sub sistem dari sistem penjajahan sehingga hukum tidak mempunyai otonomi. Hukum dalam tahap ini menurut pandangan Nonet dan Selznick masih berada dalam tahap hukum represif atau jika dipandang dari teorinya Roscou Pound hukum dipandang sebagai alat penguasa (baik dalam fungsinya sebagai social control maupun as a tool as social engineering) yang bertujuan untuk mengkooptasi rakyat Indonesia agar tidak melakukan tindakan yang merugikan penjajah.
Pandangan hukum dari penjajah adalah pandangan hukum Austin yang imperatif. Kehidupan hukum yang demikian oleh Rudolf von Jhering dipandang terlalu sibuk dengan konsep-konsep sehingga ilmu hukum untuk kepentingan sosial sehingga hukum menjadi mandul apabila dipisahkan dari lingkungannya.
Austin berpendapat hukum merupakan suatu proses sosial untuk mendamaikan perselisihan-perselisihan dan menjamin adanya ketertiban dalam masyarakat. Tugas ilmu pengetahuan hukum adalah untuk mempelajari dan berusaha untuk menjelaskan sifat hakekat dari hukum, perkembangan hukum serta hubungan hukum dengan masyarakat. Ilmu hukum (science of jurisprudence) mengani hukum positif atau laws strictly so called tidak memperhatikan apa hukum itu baik atau tidak. Semua hukum positif berasal dari satu pembuat undang-undang yang terang, tertentu dan berdaulat (soverign) Ketertiban bagi penjajah merupakan hal yang sangat penting. Hal ini berkaitan dengan kegiatan bisnis mereka agar tidak terganggu dan uang hasil penjualan rempah-rempah dan cengkeh tidak dihamburkan untuk biaya perang sehingga keuntungan yang diperoleh bisa diangkut ke Belanda.
Bangsa Indonesia sebagai negara terjajah atau sebagai negara pinggiran tidak memiliki peran yang berarti dalam kehidupan hukum. Peran pinggiran bangsa Indonesia antara lain dapat dilihat dalam diskusi dan debat mengenai perlakuan terhadap hukum adat. Bangsa Indonesia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara mengenai suatu permasalahan besar yang menyangkut dirinya dan hanya menjadi penonton dan obyek kontrol oleh hukum. Sebagai negara pinggiran maka segala keputusan dan siasat ditentukan dari Den Haag.
Sesudah Indonesia merdeka, hukum masih juga dipandang sebagai alat penguasa, ini terbukti dengan adanya UU No. 19/1964 yang menentukan bahwa hukum merupakan alat revolusi pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia. Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa kekuasaan yudikatif tidak berdaya menghadapi kekuatan eksekutif sehingga mekanisme check and balance tidak berjalan, Perubahan dari negara pinggiran ke negara sebagai pelaku penuh dalam kehidupan hukum tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia malahan mewarisi sikap kolonial yang tidak memajukan hukum sebagai instrumen membangun bangsa.
Memasuki orde baru Indonesia mulai melakukan industrialisasi. Pemanfaatan tenaga manusia mulai ditinggalkan dan diganti dengan mesin-mesin modern. Modernisasi dalam indutrialisasi membawa dampak yang tidak sedikit pada masyarakat. Jika modernisasi dipandang sebagai transisi menuju masyarakata modern, waktu dan pentahapan modernisasi seringkali dilalaikan. Bukti historis dan komparatif jelas mengungkap bahwa modernisasi tidak dapat berlangsung dua kali melalui cara yang sama. Variasi waktu dan pentahapan dapat dipengaruhi misalnya oleh inisiatif dan perencanaan pemerintah, oleh persaingan dan peniruan, oleh difusi kebudayaan dan ideologi.
Sebenarnya hukum Indonesia perkembangannya sudah menuju pada hukum yang modern, ditandai dengan diterimanya hukum sebagai alat rekayasa sosial, sebagai sarana kebijakan negara. Diterimanya hukum sebagai sarana rekayasa sosial memperkuat pemahaman bahwa hukum adalah buatan manusia, sebagai keputusan politik hukum sangat diwarnai oleh tujuan-tujuan, kepentingan-kepentingan dan selektivitas serta dipengaruhi oleh konteks seperti kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan hankam serta struktur-struktur yang ada.
Dalam bidang ilmu pengetahuan hukum, pemerintah orde baru tidak peduli dengan hal ini. Pemerintah terlalu sibuk dengan memanfaatkan hukum untuk kepentingannya. Justru yang dikembangkan adalah usaha mengganti produk undang-undang peninggalan kolonial tetapi subtansi dari peraturan itu kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang ada di Indonesia. Sebagai parameternya adalah berapa undang-undang atau peraturan kolonial yang telah diganti.

3. Hukum yang Fleksibel dan Tuntutan Perubahan
Dalam kehidupan hukum, saat ini adalah masa transisi yang kedua setelah transisi yang pertama seperti tersebut di atas tidak membawa pengaruh yang besar terhadap kehidupan hukum yang masih diwarnai nuansa kolonial. Pada masa transisi yang kedua ini merupakan masa untuk membangun hukum secara baik, tetapi yang harus diperhatikan oleh pembuat undang-undang adalah perlu ditumbuhkan pengertian bahwa hukum bukanlah sesuai yang eksak, pasti dan steril.
Sistem hukum sendiri mendapat sebutan yang tidak menyenangkan, yaitu sebagai dualisme dalam hukum. Istilah dualisme hukum ini memberikan gambaran tentang kontradiksi-kontradiksi antara hukum dalam teori dengan hukum dalam praktek, antara validitas dan efektivitas dari hukum, antara norma dan fakta sebagai kenyataan. Kontradiksi-kontradiksi ini sering membingungkan bagi orang-orang yang berniat untuk mempelajari ilmu hukum secara mendalam. Mungkin ahli hukum akan menyangkal kenyataan ini dan bahkan akan menuduh bahwa ini hanyalah merupakan alasan yang dibuat-buat saja.
Castberg F. memberikan reaksi terhadap pandangan yang dualistik dari karakter hukum ini, yaitu suatu fakta bahwa orang mengenal karakter normatif dari hukum sebagai suatu sistem normatif yang mengikat, tidak pernah berusaha membuat solusi yang dapat memecahkan problem yang menyangkut hubungan antara hukum dengan realitas. Dasar-dasar dari hukum adalah keputusan-keputusan faktual yang didasarkan pada fakta-fakta, bentuk-bentuk tindakan atau perilaku individu dan kesadaran akan kewajiban yang semuanya terletak di dalam kenyataan yang bersifat psycho-psycsical. Problem kemudian terjadi karena hukum - seperti digambarkan Kelsen - muncul ke permukaan baik sebagai sollen dan sein. Suatu kenyataan bahwa kedua kategori itu secara logis berbeda dan terpisah satu sama lain.
Persepsi normatif dogmatis pada hakekatnya menganggap apa yang tercantum dalam peraturan hukum sebagai deskripsi dari keadaan yang sesuangguhnya. Tetapi seperti dikatakan oleh Chamblis dan Seidman, kita sebaiknya mengamati tentang kenyataan bagaimana sesungguhnya pesan-pesan, janji-janji serta kemauan hukum itu dijalankan. Janganlah peraturan hukum itu diterima sebagai deskripsi dari kenyataan. Apabila yang demikian terjadi maka sesungguhnya kita telah membuat mitos tentang hukum padahal mitos yang demikian itu setiap hari dibuktikan kebohongannya.
Agar tidak termakan oleh mitos-mitos itu maka kita harus mempelajari fakta atau relaitas yang ada di masyarakat. Fakta sosial yang ada di masyarakat tak dapat dipelajari dan dipahami hanya melalui kegiatan mental murni atau melalui proses mental yang disebut dengan pemikiran spekulatif. Untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural sciences) dalam mempelajari obyek studi. Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi obyek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Norma hukum merupakan fakta sosial seperti halnya arsitektur karena norma hukum adalah barang sesuatu yang berbentuk material. Sedangkan fakta sosial yang lain seperti opini hanya dapat dinyatakan sebagai barang sesuatu, tidak dapat diraba dan adanya hanya dalam kesadaran manusia.
Kembali kepada permasalahan hukum di Indonesia dan ke arah mana hukum hendak di bangun, maka untuk itu harus diperhatikan beberapa hal yang agar perubahan dalam hukum betul-betul menyentuh masyarakat sebagai suatu kesatuan, bukan segelintir elit yang memegang kekuasaan. Untuk itu pertanyaan yang harus diajukan adalah darimanakah datangnya perubahan sosial yang sekarang terjadi dan apa sebab-sebab terjadinya perubahan itu.
Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dipandang dari berbagai segi, misalnya dari segi ekonomi maka titik tolaknya adalah krisis moneter (yang bermula pada tahun 1997) dan jika dilihat dari segi politik maka titik tolaknya adalah kehidupan yang tidak demokratis dan melahirkan pemerintahan yang totaliter. Berbagai perkembangan itu berpengaruh terhadap kehidupan hukum. Jika pada masa kolonial dan orde lama hukum digunakan sebagai alat (sebagai alat kepentingan politik), demikian juga pada orde baru (sebagai alat kepentingan ekonomi). Dari ketiga masa yang telah dijalani oleh pemerintah Indonesia itu hukum menjadi sub sistem dari sistem yang lebih besar dan dari sini nampak bahwa hukum sesungguhnya tidak mempunyai fleksibilitas atau keluwesan untuk mengembangkan dirinya dan tuntutan masyarakat.
Dalam masa reformasi, hukum seakan-akan mengalami chaos, artinya keberadaan hukum dipertanyakan dan disangsikan keefektifannya oleh masyarakat sehingga merebak apa yang dinamakan eigenrichting. Pandangan masyarakat yang demikian dapat dimaklumi dengan anggapan bahwa hukum itu buatan manusia, kenapa tidak boleh dilanggar dan dibuat hukum yang lebih baru dan bermanfaat. Fungsi dan tugas hukum dalam masa ini mengalami reorientasi dan reformasi untuk menyesuaikan perkembangan masyarakat.
Saat ini sebenarnya saat yang tepat bagi hukum untuk menunjukkan otoritasnya sebagai satu kekuatan yang pantas diperhitungkan dalam perkembangan bangsa. Tetapi apa yang terjadi sepertinya tidak sesuai dengan harapan karena produk-produk yang muncul saat ini adalah produk yang mencerminkan kepentingan ekonomi (melalui IMF) dan kepentingan politik (tarik ulur partai politik).
Kita sebenarnya mengharapkan agar hukum Indonesia yang dibangun berdasarkan pada kepentingan atau kemauan rakyat bukan penguasa. Hukum lama sudah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada yang berdampak pada kesengsaraan rakyat. Hukum harus berubah dengan lebih banyak memperhatikan rakyat kecil yang selama ini menjadi korban pembangunan yang tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan tentu saja dapat terwujud apabila hukum benar-benar memiliki fleksibilitas dalam mengembangkan dirinya tanpa campur tangan kekuasaan.

4. Pendekatan Sosiologi Hukum
a. Pendekatan Hukum Positivistik, Normatif, Legalislitik, Formalistik.
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan morma yang harus dipahami dengan meanganilis teks atau bunyi undang-undang atau peraturan yang tertulis. Dalam rangka mempelajari teks-teks normatif tersebut maka yang menjadi sangat penting untuk menggunakan logika hukum (legal reasoning) yang dibangan atas dasar asas-asas, dogma-dogma, doktrin-doktrin, dan prinsip-prinsip hukum terutama yang berlaku secara universal dalam hukum (modern).
Dalam kenyataannya pendekaan ini memiliki kelemahan atau kekurangan karena tidak dapat menjelaskan kenyataan-kenyataan hukum secara memuaskan, terutama ketika praktek hukum tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum yang tertulis. Seperti ketika prinsip hukum undang-undang menyatakan bahwa hukum tidak boleh berlaku diskriminiatif atau equality before the law, hukum tidak boleh saling bertentangan, siapa yang bersalah harus dihukum, hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh dan sebagainya, namun kenyataannya terdapat kesenjangan (gap atau diskrepansi) dengan kenyataan hukum yang terjadi.

b. Pendekatan Hukum Empiris, Sosiologis, Realisme, Konteks Sosial
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan sosial (social institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Hukum tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan social yang menafest dalam kehidupan. Hukum tidak dipahami secara tekstual normative tetapi secara konteksual. Sejalan dengan itu maka pendekatan hukum tidak hanya dilandasi oleh sekedar logika hukum tetapi juga dengan logika social dalam rangka seaching for the meaning.
Pendekatan ini diharapkan dapat menjelaskan berbagai fenomena hukum yang ada melalui alat bantu logika ilmu-ilmu sosial. Berbagai praktek-praktek hukum yang tidak sesuai dengan aturan normative, disparitas hukum, terjadinya deviant behavior, anomaly hukum, ketidakpatuhan (disobedience), pembangkangan hukum, violent, kriminalisme dan sebagainya akan lebih mudah dijelaskan melalui pendekatan ini.
Perbandingan dua model pendekatan hukum
Aspek Hukum Positivis analitis (Jurisprudential) Model Sosiologis
Fokus Peraturan Struktur Sosial
Proses Logika Perilaku (behavior)
Lingkup Universal Variabel
Perspektif Pelaku (Participant) Pengamat (Observer)
Tujuan Praktis Ilmiah
Sasaran Keputusan (Decission) Penejelasan (Expalanation)
Sumber : Donald Black. Sociological Justice, 1989 : 21.

c. Menuju Pendekatan Hukum yang Holistik dan Visoner.
Sebagai upaya menuju pemahaman hukum secara holistic dan visoner kiranya diperlukanm adanya pergeseran paradigma (paradigm shift) dimana kedua pendekatan tersebut dapat digunakan secara sinergis dan komplementer. Artinya, pendekatan terhadap hukum tidak hanya mengambil salah satu, tetapi harus mengambil keduannya secara utuh sehingga akan dapat dilakukan analisis secara holistic dan komprehensif.
Pendekatan hukum yang positistik saja akan menyebabkan hukum akan teralienasi dari basis sosial dimana dimana hukum itu berada. Pendekatan ini semata mungkin akan dapat memperoleh nilai kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum.
Sebaliknya pendekatan hukum empiris, sosiologis, realisme, atau konteks sosial saja akan menyebabkan seolah-oleh hukum tertulis menjadi tidak diperlukan tetapi hanya melihat realitas hukum yang terjadi. Jika pendekatan ini dipakai sebagai satu-satunya alat dalam memahami hukum maka sangat dapat mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hokum bahkan dikhawatirkan tidak lagi diperlukan lagi adanya hukum atau undang-undang sehingga lebih lanjut dapat terjadi anarkisme hukum.

F. Kesimpulan
Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala sosial lain.
Tujuan sosiologi hukum di dalam kenyataan seperti berikut:berguna untuk terhadap kemampuan memahami hukum di dalam konteks sosial, memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, mengubah masyarakat, mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan social yang tertentu dan memberikan kemungkinan-kemungkinan dan kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.
Hukum di Indonesia terbukti telah menjadi alat kekuasaan, hukum bukanlah sesuatu yang otonom karena menjadi sub sistem dari sistem lain yang lebih besar. Keadaan ini harus diperbaiki pada saat ini karena saat ini adalah momentum yang tepat untuk itu dimana hukum harus menunjukkan otoritasnya dan secara fleksibel mengikuti perkembangan dan tuntutan rakyat. Pengertian yang fleksibel dari hukum di sini jangan diartikan bahwa hukum itu plin-plan dalam menghadapi perkembangan jaman, tetapi pengertian yang benar dalam konteks ini adalah bagaimana hukum dapat menempatkan diri dalam posisinya sebagai institusi yang keberadaannya dibutuhkan oleh rakyat dalam sebuah negara yang demokratif. Jadi lebih tepatnya fleksibelitas hukum ini dapat dikaitkan dengan adaptasi hukum terhadap tuntutan rakyat.
Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaiman seorang pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak. Bagaimana seorang itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi-peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.
Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan.
Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.





















DAFTAR PUSTAKA

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta , PT RajaGrafindo Persada, Cet 15, 2005.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta , PT RajaGrafindo Persada, Cet 38, 2005.
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
Soetandyo Wignyosiebroto, Sosiologi Hukum: Perannya Dalam Pengembangan Ilmu Hukum dan Studi Tentang Hukum, Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996.
W. Froedmann, Teori dan Filsafat Hukum (Susunan I), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993.
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Bandung , Penerbit Angkasa, tt
Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses Sosial Dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996.
Rudolf von Jhering dalam Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 20.
Reinhard Bendix, The Comparative Analysis of Historis Change, dalam Soscial Theory and Economic Change, disunting oleh T. Burns & S.B. Saul, Tavistock Publication, London, 1967
George Ritzer, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penyunting Alimandan, Rajawali Press, Jakarta, 1995.
Castberg F., Problem of Legal Philosophy, Oslo University Press, London, 2nd Edition, 1957
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Pradnya Pramamita, Jakarta, 1988.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
I.S. Suanto, Lembaga Peradilan dan Demokrasi, Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN Depkeh dan Sinar Baru, Bandung, tanpa tahun.
Adam Podgorecki & Christoper J. Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1978.

sosiologi hukum

FLEKSIBILITAS SOSILOGI HUKUM
Dosen STAIN Pekalongan
Kepala Perpustakaan PonPes Modern Al Qur’an Buaran
Ketua Komite MA KH. Syafi’i Buarn


A. Pendahuluan
Hukum telah lama ada dan keberadaannya telah diakui serta digunakan untuk berbagai keperluan. Tetapi hukum yang benar-benar otonom di masyarakat kita tentulah masih menjadi pertanyaan besar karena makna yang ada dibalik hukum yang terbentuk (undang-undang atau peraturan lainnya) seringkali lebih dominan (seperti unsur politik, ekonomi dan kepentingan lain) dibandingkan makna hukum yang berciri keadilan. Otonomi hukum perlu ditumbuhkan agar hukum sebagai suatu sistem tersendiri mempunyai kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat berupa keadilan dan tuntutan ilmu pengetahuan berupa timbulnya teori hukum yang lebih komprehensif.
Membicarakan sosiologi hukum tidak bisa dilepaskan dari fakta atau realitas karena sosiologi hukum berparadigma fakta sosial. Sosiologi hukum merupakan cabang khusus dari sosiologi yang berperhatian untuk mempelajari hukum tidak sebagai konsep-konsep normatif melainkan sebagai fakta sosial. Berparadigma fakta sosial berarti tidak mengkaji nilai, norma atau ide apapun tentang hukum.
Kehadiran disiplin ilmu sosiologi hukum memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara normatif.
Berbeda dengan pemahaman hukum secara normatif, sosiologi hukum adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan Sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum, dampak dan efektifitas hukum, serta kultur hukum.
Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum tersebut di dalam masyarakat. Fungsi tersebut dapat diamati dari beberapa sudut pandang, yaitu sebagai sosial kontrol, sebagai alat untuk mengubah masyarakat, sebagai simbol, sebagai alat politik, maupun sebagai alat integrasi.
Hukum dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Sejak jaman Yunani dan Romawi sampai sekarang hukum mengalami perkembangan yang luar biasa yang mungkin saja orang Yunani dan Romawi dahulu tidak akan dapat memperkirakan hal-hal yang terjadi sekarang dalam bidang hukum. Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari sifat hukum yang selalu berada di tengah-tengah masyarakat sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mengalami perkembangan.
Pendapat yang hendak dikemukakan pada awal tulisan ini adalah apakah hukum itu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat atau sebaliknya masyarakat berkembang karena adanya camput tangan hukum. Jika diikuti jalan pikiran yang pertama maka yang akan dipakai sebagai dasar pijakan adalah ajaran von Savigny mengenai hukum tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat dan jika yang dipakai adalah jalan pikiran yang kedua maka pendekatannya lebih mengarah kepada apa yang telah dikemukakan oleh John Austin yang memandang hukum sebagai perintah dari penguasa yang berdaulat.
Austin memisahkan hukum dan keadilan, ini adalah kekeliruan besar karena bagaimanapun inti hukum adalah keadilan. Pemisahan ini tidak didasarkan pada pengertian baik atau buruk akan tetapi didasarkan pada kekuasaan dari sesuatu yang lebih kuat (the power of a superior). Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa aliran hukum imperatif dari Austin tidak menghendaki hukum yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakatnya sendiri. Hukumnya adalah hukum penguasa yang superior untuk kepentingan penguasa itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dikemukakan di atas hanyalah merupakan suatu gambaran adanya dua sisi yang berbeda dalam pandangan mengenai hukum yang berangkat dari dua sisi yang berbeda?
2. Apa dua pandangan ini menjadi dasar pijakan untuk melihat lebih jauh hukum yang berkembang di Indonesia dalam menghadapi perkembangan jaman ?

B. Landasan Teori
Definisi sosiologi (1839) yang berasal dari kata latin socius yang berarti “kawan” dan kata Yunani Logos yang berarti “kata” atau “bicara”. Jadi sosiologi berarti “bicara mengenai masyarakat” bagi Auguste Comte sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Comte berkata bahwa sosiologi harus dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak kepada spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat.
Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala sosial lain. Ini karena sejak dilahirkan di dunia ini manusia telah sadar bahwa dia merupakan bagian dari kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan manusia tadi memiliki kebuyaan. Selain itu, manusia sebetulnya telah mengetahui, bahwa kehidupan mereka dalam masyarakat pada hakikatnya diatur oleh bermacam-macam aturan dan pedoman.
Sosiologi hukum juga dapat membantu untuk memberikan kejelasan mengenai kemampuan yang ada pada undang-undang serta pengaruh-pengaruh apa saja yang dapat ditimbulkan oleh bekerjanya undang-undang itu dalam masyarakat.

D. Pembahasan
1. Perkembangan Ke Arah Ilmu Hukum Sosiologis
Memasuki Abad XX mulai muncul pemikiran untuk meberikan penjelasan lebih baik terhadap hekakekat hukum dan tempat hukum dalam masyarakat. Ketidakpuasan terhadap positifisme kian berekembang karena paham tersebut acapkali tidak sesuai dengan keadilan dan kebenaran sehingga muncul gerakan-gerakan untuk “melawan” positifisme. Hal itu tampak dari fenomena yang disebut:
1. Donald Black  The age of sociology
2. Morton White  The revolt against formalisme
3. Alan Hunt  The sociological movement in law.
Keadilan kadang sulit terungkap. Jika berhadapan dengan formalisme, dimana hakim dalam suatu kasus kadang sulit untuk membuktikan meskipun yakin kalau si pelaku bersalah.
Menurut Gustav Radbruh hukum harus mengandung tiga nilai idealitas:
1. Kepastian  yuridis
2. Keadilan  Filosofis
3. Kemanfaatan  Sosiologis
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu:
1. Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum
2. Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan hukum
3. Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum  sebagai tetsachenwissenschaaft yang melihat law as it is in the book tidak selalu sama dengan law as it is in society, namun hal tersebut tidak perlu dihakimi sebagai sesuatu yang benar atau salah.

Pohon Ilmu Hukum






2. Nuansa Kolonial Dalam Negara Nasional
Hukum yang ada di Indonesia (minus hukum adat) sebagian besar masih didominasi oleh hukum peninggalan kolonial Belanda melalui produk-produknya yang sekarang masih berlaku dengan berbagai modifikasi, dilengkapi dengan undang-undang baru untuk mengatur bidang yang baru muncul kemudian. Tidak dapat disangkal bahwa pada masa kolonial, hukum tidak digunakan dalam fungsinya yang positif, dalam pengertian tidak digunakan untuk tujuan hukum itu sendiri yaitu memberi keadilan tetapi lebih tepat disebut sebagai alat penjajah untuk memperkuat posisinya dan mendapatkan legitimasi dalam menghukum para pejuang kemerdekaan.
Hukum menjadi sub sistem dari sistem penjajahan sehingga hukum tidak mempunyai otonomi. Hukum dalam tahap ini menurut pandangan Nonet dan Selznick masih berada dalam tahap hukum represif atau jika dipandang dari teorinya Roscou Pound hukum dipandang sebagai alat penguasa (baik dalam fungsinya sebagai social control maupun as a tool as social engineering) yang bertujuan untuk mengkooptasi rakyat Indonesia agar tidak melakukan tindakan yang merugikan penjajah.
Pandangan hukum dari penjajah adalah pandangan hukum Austin yang imperatif. Kehidupan hukum yang demikian oleh Rudolf von Jhering dipandang terlalu sibuk dengan konsep-konsep sehingga ilmu hukum untuk kepentingan sosial sehingga hukum menjadi mandul apabila dipisahkan dari lingkungannya.
Austin berpendapat hukum merupakan suatu proses sosial untuk mendamaikan perselisihan-perselisihan dan menjamin adanya ketertiban dalam masyarakat. Tugas ilmu pengetahuan hukum adalah untuk mempelajari dan berusaha untuk menjelaskan sifat hakekat dari hukum, perkembangan hukum serta hubungan hukum dengan masyarakat. Ilmu hukum (science of jurisprudence) mengani hukum positif atau laws strictly so called tidak memperhatikan apa hukum itu baik atau tidak. Semua hukum positif berasal dari satu pembuat undang-undang yang terang, tertentu dan berdaulat (soverign) Ketertiban bagi penjajah merupakan hal yang sangat penting. Hal ini berkaitan dengan kegiatan bisnis mereka agar tidak terganggu dan uang hasil penjualan rempah-rempah dan cengkeh tidak dihamburkan untuk biaya perang sehingga keuntungan yang diperoleh bisa diangkut ke Belanda.
Bangsa Indonesia sebagai negara terjajah atau sebagai negara pinggiran tidak memiliki peran yang berarti dalam kehidupan hukum. Peran pinggiran bangsa Indonesia antara lain dapat dilihat dalam diskusi dan debat mengenai perlakuan terhadap hukum adat. Bangsa Indonesia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara mengenai suatu permasalahan besar yang menyangkut dirinya dan hanya menjadi penonton dan obyek kontrol oleh hukum. Sebagai negara pinggiran maka segala keputusan dan siasat ditentukan dari Den Haag.
Sesudah Indonesia merdeka, hukum masih juga dipandang sebagai alat penguasa, ini terbukti dengan adanya UU No. 19/1964 yang menentukan bahwa hukum merupakan alat revolusi pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia. Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa kekuasaan yudikatif tidak berdaya menghadapi kekuatan eksekutif sehingga mekanisme check and balance tidak berjalan, Perubahan dari negara pinggiran ke negara sebagai pelaku penuh dalam kehidupan hukum tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia malahan mewarisi sikap kolonial yang tidak memajukan hukum sebagai instrumen membangun bangsa.
Memasuki orde baru Indonesia mulai melakukan industrialisasi. Pemanfaatan tenaga manusia mulai ditinggalkan dan diganti dengan mesin-mesin modern. Modernisasi dalam indutrialisasi membawa dampak yang tidak sedikit pada masyarakat. Jika modernisasi dipandang sebagai transisi menuju masyarakata modern, waktu dan pentahapan modernisasi seringkali dilalaikan. Bukti historis dan komparatif jelas mengungkap bahwa modernisasi tidak dapat berlangsung dua kali melalui cara yang sama. Variasi waktu dan pentahapan dapat dipengaruhi misalnya oleh inisiatif dan perencanaan pemerintah, oleh persaingan dan peniruan, oleh difusi kebudayaan dan ideologi.
Sebenarnya hukum Indonesia perkembangannya sudah menuju pada hukum yang modern, ditandai dengan diterimanya hukum sebagai alat rekayasa sosial, sebagai sarana kebijakan negara. Diterimanya hukum sebagai sarana rekayasa sosial memperkuat pemahaman bahwa hukum adalah buatan manusia, sebagai keputusan politik hukum sangat diwarnai oleh tujuan-tujuan, kepentingan-kepentingan dan selektivitas serta dipengaruhi oleh konteks seperti kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan hankam serta struktur-struktur yang ada.
Dalam bidang ilmu pengetahuan hukum, pemerintah orde baru tidak peduli dengan hal ini. Pemerintah terlalu sibuk dengan memanfaatkan hukum untuk kepentingannya. Justru yang dikembangkan adalah usaha mengganti produk undang-undang peninggalan kolonial tetapi subtansi dari peraturan itu kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang ada di Indonesia. Sebagai parameternya adalah berapa undang-undang atau peraturan kolonial yang telah diganti.

3. Hukum yang Fleksibel dan Tuntutan Perubahan
Dalam kehidupan hukum, saat ini adalah masa transisi yang kedua setelah transisi yang pertama seperti tersebut di atas tidak membawa pengaruh yang besar terhadap kehidupan hukum yang masih diwarnai nuansa kolonial. Pada masa transisi yang kedua ini merupakan masa untuk membangun hukum secara baik, tetapi yang harus diperhatikan oleh pembuat undang-undang adalah perlu ditumbuhkan pengertian bahwa hukum bukanlah sesuai yang eksak, pasti dan steril.
Sistem hukum sendiri mendapat sebutan yang tidak menyenangkan, yaitu sebagai dualisme dalam hukum. Istilah dualisme hukum ini memberikan gambaran tentang kontradiksi-kontradiksi antara hukum dalam teori dengan hukum dalam praktek, antara validitas dan efektivitas dari hukum, antara norma dan fakta sebagai kenyataan. Kontradiksi-kontradiksi ini sering membingungkan bagi orang-orang yang berniat untuk mempelajari ilmu hukum secara mendalam. Mungkin ahli hukum akan menyangkal kenyataan ini dan bahkan akan menuduh bahwa ini hanyalah merupakan alasan yang dibuat-buat saja.
Castberg F. memberikan reaksi terhadap pandangan yang dualistik dari karakter hukum ini, yaitu suatu fakta bahwa orang mengenal karakter normatif dari hukum sebagai suatu sistem normatif yang mengikat, tidak pernah berusaha membuat solusi yang dapat memecahkan problem yang menyangkut hubungan antara hukum dengan realitas. Dasar-dasar dari hukum adalah keputusan-keputusan faktual yang didasarkan pada fakta-fakta, bentuk-bentuk tindakan atau perilaku individu dan kesadaran akan kewajiban yang semuanya terletak di dalam kenyataan yang bersifat psycho-psycsical. Problem kemudian terjadi karena hukum - seperti digambarkan Kelsen - muncul ke permukaan baik sebagai sollen dan sein. Suatu kenyataan bahwa kedua kategori itu secara logis berbeda dan terpisah satu sama lain.
Persepsi normatif dogmatis pada hakekatnya menganggap apa yang tercantum dalam peraturan hukum sebagai deskripsi dari keadaan yang sesuangguhnya. Tetapi seperti dikatakan oleh Chamblis dan Seidman, kita sebaiknya mengamati tentang kenyataan bagaimana sesungguhnya pesan-pesan, janji-janji serta kemauan hukum itu dijalankan. Janganlah peraturan hukum itu diterima sebagai deskripsi dari kenyataan. Apabila yang demikian terjadi maka sesungguhnya kita telah membuat mitos tentang hukum padahal mitos yang demikian itu setiap hari dibuktikan kebohongannya.
Agar tidak termakan oleh mitos-mitos itu maka kita harus mempelajari fakta atau relaitas yang ada di masyarakat. Fakta sosial yang ada di masyarakat tak dapat dipelajari dan dipahami hanya melalui kegiatan mental murni atau melalui proses mental yang disebut dengan pemikiran spekulatif. Untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural sciences) dalam mempelajari obyek studi. Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi obyek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Norma hukum merupakan fakta sosial seperti halnya arsitektur karena norma hukum adalah barang sesuatu yang berbentuk material. Sedangkan fakta sosial yang lain seperti opini hanya dapat dinyatakan sebagai barang sesuatu, tidak dapat diraba dan adanya hanya dalam kesadaran manusia.
Kembali kepada permasalahan hukum di Indonesia dan ke arah mana hukum hendak di bangun, maka untuk itu harus diperhatikan beberapa hal yang agar perubahan dalam hukum betul-betul menyentuh masyarakat sebagai suatu kesatuan, bukan segelintir elit yang memegang kekuasaan. Untuk itu pertanyaan yang harus diajukan adalah darimanakah datangnya perubahan sosial yang sekarang terjadi dan apa sebab-sebab terjadinya perubahan itu.
Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dipandang dari berbagai segi, misalnya dari segi ekonomi maka titik tolaknya adalah krisis moneter (yang bermula pada tahun 1997) dan jika dilihat dari segi politik maka titik tolaknya adalah kehidupan yang tidak demokratis dan melahirkan pemerintahan yang totaliter. Berbagai perkembangan itu berpengaruh terhadap kehidupan hukum. Jika pada masa kolonial dan orde lama hukum digunakan sebagai alat (sebagai alat kepentingan politik), demikian juga pada orde baru (sebagai alat kepentingan ekonomi). Dari ketiga masa yang telah dijalani oleh pemerintah Indonesia itu hukum menjadi sub sistem dari sistem yang lebih besar dan dari sini nampak bahwa hukum sesungguhnya tidak mempunyai fleksibilitas atau keluwesan untuk mengembangkan dirinya dan tuntutan masyarakat.
Dalam masa reformasi, hukum seakan-akan mengalami chaos, artinya keberadaan hukum dipertanyakan dan disangsikan keefektifannya oleh masyarakat sehingga merebak apa yang dinamakan eigenrichting. Pandangan masyarakat yang demikian dapat dimaklumi dengan anggapan bahwa hukum itu buatan manusia, kenapa tidak boleh dilanggar dan dibuat hukum yang lebih baru dan bermanfaat. Fungsi dan tugas hukum dalam masa ini mengalami reorientasi dan reformasi untuk menyesuaikan perkembangan masyarakat.
Saat ini sebenarnya saat yang tepat bagi hukum untuk menunjukkan otoritasnya sebagai satu kekuatan yang pantas diperhitungkan dalam perkembangan bangsa. Tetapi apa yang terjadi sepertinya tidak sesuai dengan harapan karena produk-produk yang muncul saat ini adalah produk yang mencerminkan kepentingan ekonomi (melalui IMF) dan kepentingan politik (tarik ulur partai politik).
Kita sebenarnya mengharapkan agar hukum Indonesia yang dibangun berdasarkan pada kepentingan atau kemauan rakyat bukan penguasa. Hukum lama sudah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada yang berdampak pada kesengsaraan rakyat. Hukum harus berubah dengan lebih banyak memperhatikan rakyat kecil yang selama ini menjadi korban pembangunan yang tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan tentu saja dapat terwujud apabila hukum benar-benar memiliki fleksibilitas dalam mengembangkan dirinya tanpa campur tangan kekuasaan.

4. Pendekatan Sosiologi Hukum
a. Pendekatan Hukum Positivistik, Normatif, Legalislitik, Formalistik.
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan morma yang harus dipahami dengan meanganilis teks atau bunyi undang-undang atau peraturan yang tertulis. Dalam rangka mempelajari teks-teks normatif tersebut maka yang menjadi sangat penting untuk menggunakan logika hukum (legal reasoning) yang dibangan atas dasar asas-asas, dogma-dogma, doktrin-doktrin, dan prinsip-prinsip hukum terutama yang berlaku secara universal dalam hukum (modern).
Dalam kenyataannya pendekaan ini memiliki kelemahan atau kekurangan karena tidak dapat menjelaskan kenyataan-kenyataan hukum secara memuaskan, terutama ketika praktek hukum tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum yang tertulis. Seperti ketika prinsip hukum undang-undang menyatakan bahwa hukum tidak boleh berlaku diskriminiatif atau equality before the law, hukum tidak boleh saling bertentangan, siapa yang bersalah harus dihukum, hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh dan sebagainya, namun kenyataannya terdapat kesenjangan (gap atau diskrepansi) dengan kenyataan hukum yang terjadi.

b. Pendekatan Hukum Empiris, Sosiologis, Realisme, Konteks Sosial
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan sosial (social institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Hukum tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan social yang menafest dalam kehidupan. Hukum tidak dipahami secara tekstual normative tetapi secara konteksual. Sejalan dengan itu maka pendekatan hukum tidak hanya dilandasi oleh sekedar logika hukum tetapi juga dengan logika social dalam rangka seaching for the meaning.
Pendekatan ini diharapkan dapat menjelaskan berbagai fenomena hukum yang ada melalui alat bantu logika ilmu-ilmu sosial. Berbagai praktek-praktek hukum yang tidak sesuai dengan aturan normative, disparitas hukum, terjadinya deviant behavior, anomaly hukum, ketidakpatuhan (disobedience), pembangkangan hukum, violent, kriminalisme dan sebagainya akan lebih mudah dijelaskan melalui pendekatan ini.
Perbandingan dua model pendekatan hukum
Aspek Hukum Positivis analitis (Jurisprudential) Model Sosiologis
Fokus Peraturan Struktur Sosial
Proses Logika Perilaku (behavior)
Lingkup Universal Variabel
Perspektif Pelaku (Participant) Pengamat (Observer)
Tujuan Praktis Ilmiah
Sasaran Keputusan (Decission) Penejelasan (Expalanation)
Sumber : Donald Black. Sociological Justice, 1989 : 21.

c. Menuju Pendekatan Hukum yang Holistik dan Visoner.
Sebagai upaya menuju pemahaman hukum secara holistic dan visoner kiranya diperlukanm adanya pergeseran paradigma (paradigm shift) dimana kedua pendekatan tersebut dapat digunakan secara sinergis dan komplementer. Artinya, pendekatan terhadap hukum tidak hanya mengambil salah satu, tetapi harus mengambil keduannya secara utuh sehingga akan dapat dilakukan analisis secara holistic dan komprehensif.
Pendekatan hukum yang positistik saja akan menyebabkan hukum akan teralienasi dari basis sosial dimana dimana hukum itu berada. Pendekatan ini semata mungkin akan dapat memperoleh nilai kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum.
Sebaliknya pendekatan hukum empiris, sosiologis, realisme, atau konteks sosial saja akan menyebabkan seolah-oleh hukum tertulis menjadi tidak diperlukan tetapi hanya melihat realitas hukum yang terjadi. Jika pendekatan ini dipakai sebagai satu-satunya alat dalam memahami hukum maka sangat dapat mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hokum bahkan dikhawatirkan tidak lagi diperlukan lagi adanya hukum atau undang-undang sehingga lebih lanjut dapat terjadi anarkisme hukum.

F. Kesimpulan
Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala sosial lain.
Tujuan sosiologi hukum di dalam kenyataan seperti berikut:berguna untuk terhadap kemampuan memahami hukum di dalam konteks sosial, memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, mengubah masyarakat, mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan social yang tertentu dan memberikan kemungkinan-kemungkinan dan kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.
Hukum di Indonesia terbukti telah menjadi alat kekuasaan, hukum bukanlah sesuatu yang otonom karena menjadi sub sistem dari sistem lain yang lebih besar. Keadaan ini harus diperbaiki pada saat ini karena saat ini adalah momentum yang tepat untuk itu dimana hukum harus menunjukkan otoritasnya dan secara fleksibel mengikuti perkembangan dan tuntutan rakyat. Pengertian yang fleksibel dari hukum di sini jangan diartikan bahwa hukum itu plin-plan dalam menghadapi perkembangan jaman, tetapi pengertian yang benar dalam konteks ini adalah bagaimana hukum dapat menempatkan diri dalam posisinya sebagai institusi yang keberadaannya dibutuhkan oleh rakyat dalam sebuah negara yang demokratif. Jadi lebih tepatnya fleksibelitas hukum ini dapat dikaitkan dengan adaptasi hukum terhadap tuntutan rakyat.
Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaiman seorang pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak. Bagaimana seorang itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi-peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.
Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan.
Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.





















DAFTAR PUSTAKA

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta , PT RajaGrafindo Persada, Cet 15, 2005.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta , PT RajaGrafindo Persada, Cet 38, 2005.
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
Soetandyo Wignyosiebroto, Sosiologi Hukum: Perannya Dalam Pengembangan Ilmu Hukum dan Studi Tentang Hukum, Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996.
W. Froedmann, Teori dan Filsafat Hukum (Susunan I), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993.
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Bandung , Penerbit Angkasa, tt
Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses Sosial Dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996.
Rudolf von Jhering dalam Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 20.
Reinhard Bendix, The Comparative Analysis of Historis Change, dalam Soscial Theory and Economic Change, disunting oleh T. Burns & S.B. Saul, Tavistock Publication, London, 1967
George Ritzer, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penyunting Alimandan, Rajawali Press, Jakarta, 1995.
Castberg F., Problem of Legal Philosophy, Oslo University Press, London, 2nd Edition, 1957
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Pradnya Pramamita, Jakarta, 1988.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
I.S. Suanto, Lembaga Peradilan dan Demokrasi, Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN Depkeh dan Sinar Baru, Bandung, tanpa tahun.
Adam Podgorecki & Christoper J. Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1978.

Selasa, 25 November 2008

KONSEP PRODUKSI DALAM EKONOMI ISLAM

KONSEP PRODUKSI DALAM EKONOMI ISLAM

Pola pemikiran yang bermuara pada implementasi dalam bentuk aktifitas ekonomi yang berskala mikro dan makro. Dalam tataran mikro dapat digambarkan pada sebuah fenomena keluarga yang setiap hari produktifitasnya diisi dengan pengadaan barang-barang material dengan mengabaikan sebuah nilai spiritualitas yang seharusnya menjadi landasan utama dalam setiap melakukan kegiatan ekonomi. Wal hasil, secara materi keluarga tersebut tercukupi dengan proses produksi yang dihasilkannya tetapi dalam aspek yang lain, yaitu tataran spiritual akan mengalami kekeringan yang boleh jadi akan membawa dampak negatif bagi perkembangan kehidupan keluarga tersebut. Sedangkan dalam tataran makro dapatlah kita mengambil pelajaran dari negara Jepang. Pada saat ini Jepang sudah menjadi sebuah negara maju yang tingkat produksi nasionalnya meningkat secara tajam dan telah menjadi pesaing bisnis bagi Amerika dan Uni Eropa. Di satu sisi Jepang dapat menikmati hasil produksinya dengan pencapaian yang sudah melebihi batas dan telah dinobatkan sebagai macan Asia, tetapi di sisi lain dalam aspek nilai spiritualitas negara Jepang telah dilanda suatu krisis yang kronis, yaitu hilangnya nilai spiritualitas dalam berkehidupan. Akhir-akhir ini di Jepang banyak kasus yang berkaitan dengan tingkat ke-stres-an yang tinggi dan berujung pada keinginan untuk mengakhiri kehidupan dengan membunuh diri. Pada saat ini kasus tersebut di Jepang menempati peringkat yang tinggi dan telah menjadi problem nasional.[1] Apa arti sebuah produksi atau produtifitas yang akhirnya tidak memberikan rasa kenyamanan dan kedamaian dalam kehidupan?

Memakni Produksi
Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir al-intaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas).[2] Pandangan Rawwas di atas mewakili beberapa definisi yang ditawarkan oleh pemikir ekonomi lainnya.
Hal senada juga diutarakan oleh Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad dalam bukunya Muqaddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad al-Islamiy. Abdurrahman lebih jauh menjelaskan bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan ukuran utamanya adalah nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut.[3] Produksi dalam pandangannya harus mengacu pada nilai utility dan masih dalam bingkai nilai ‘halal’ serta tidak membahayakan bagi diri seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Dalam hal ini, Abdurrahman merefleksi pemikirannya dengan mengacu pada QS. Al-Baqarah [2]: 219 yang menjelaskan tentang pertanyaan dari manfaat memakai (memproduksi) khamr.[4]
Lain halnya dengan Taqiyuddin an-Nabhani, dalam mengantarkan pemahaman tentang ‘produksi’, ia lebih suka memakai kata istishna’ untuk mengartikan ‘produksi’ dalam bahasa Arab. An-Nabhani dalam bukunya an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam me-mahami produksi itu sebagai sesuatu yang mubah dan jelas berdasarkan as-Sunnah.[5] Sebab, Rasulullah Saw pernah membuat cincin. Diriwayatkan dari Anas yang mengatakan “Nabi Saw telah membuat cincin.” (HR. Imam Bukhari). Dari Ibnu Mas’ud: “Bahwa Nabi Saw. telah membuat cincin yang terbuat dari emas.” (HR. Imam Bukhari). Beliau juga pernah membuat mimbar. Dari Sahal berkata: “Rasulullah Saw telah mengutus kepada seorang wanita, (kata beliau): Perintahkan anakmu si tukang kayu itu untuk membuatkan sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa duduk di atsnya.” (HR. Imam Bukhari). Pada masa Rasulullah, orang-orang biasa memproduksi barang, dan beliau pun mendiamkan aktifitas mereka. Sehingga diamnya beliau menunjukkan adanya pengakuan (taqrir) beliau terhadap aktifitas berproduksi mereka. Status (taqrir) dan perbuatan Rasul itu sama dengan sabda beliau, artinya sama merupakan dalil syara’.[6]
Penulis mempunyai keyakinan bahwa wilayah produksi tidaklah sesempit seperti apa yang dipegangi oleh kalangan ekonom konvensional yang hanya sekedar mengejar orientasi jangka pendek dengan materi sebagai titik acuannya dan memberikan peniadaan pada aspek produksi yang mempunyai orientasi jangka panjang. Selama ini yang kita fahami tetkala membaca teks-teks buku ekonomi konvensional tidak jarang ditemukan adanya telaah terhadap kegiatan sebuah perusahaan untuk melakukan produksi dengan mengacu pada faktor produksi yang dimiliki oleh setiap perusahaan tersebut.[7] Misal, perusahaan A akan mencapai tingkat produksi yang maksimal jika didukung oleh faktor produksi semacam modal (C), tenaga kerja (L), sumber daya alam (R), dan teknologi (T) yang difungsikan pada posisi yang optimal. Dasar pemikiran yang dibangun dalam paradigma berfikir aliran konvensional dalam berproduksi adalah memaksimumkan keuntungan (maximizing of profit) dan meminimumkan biaya (minimizing of cost) yang pada dasarnya tidak melihat realita ekonomi yang prakteknya berdasarkan pada kecukupan akan kebutuhan dan market imperfection yang berasosiasi dengan imperfect information. [8] Hasil dari pencapaian produksi yang dilakukan oleh perusahaan konvensional adalah keinginan untuk mendapatkan profit (keuntungan) yang maksimal dengan cost (biaya) yang sedikit. Apa memungkinkan? Gambaran di atas merupakan realita nyata yang terjadi di tataran aplikatif untuk melaksanakan teori produksi yang diacukan pada pemikiran konvensional.
Adapun aspek produksi yang berorientasi pada jangka panjang adalah sebuah paradigma berfikir yang didasarkan pada ajaran Islam yang melihat bahwa proses produksi dapat menjangkau makna yang lebih luas, tidak hanya pencapaian aspek yang bersifat materi-keduniaan tetapi sampai menembus batas cakrawala yang bersifat ruhani-keakheratan. Orang yang senantiasa menegakkan shalat dan melakukan ibadah lainnya merupakan wujud dari nilai produktifitas yang dilakukan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan ruhaninya. Seseorang yang betul-betul melaksanakan shalat dengan benar berarti ia telah melakukan aktifitas yang produktif yang selanjutnya akan membawa pada nilai lebih dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.

Keshalehan dan Produksi
Ada sebuah permata dalam bukunya Dr. Monzer Kahf yang berjudul The Islamic Economy: Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System yang menyebutkan bahwa ‘tingkat keshalehan seseorang mempunyai korelasi positif terhadap tingkat produksi yang dilakukannya’.[9] Jika seseorang semakin meningkat nilai keshalehannya maka nilai produktifitasnya juga semakin meningkat, begitu juga sebaliknya jika keshalehan seseorang itu dalam tahap degradasi maka akan berpengaruh pula pada pencapaian nilai produktifitas yang menurun.
Sebuah contoh, seorang yang senantiasa terjaga untuk selalu menegakkan shalat berarti ia telah dianggap shaleh. Dalam posisi seperti ini, orang tersebut telah merasakan tingkat kepuasan batin yang tinggi dan secara psikologi jiwanya telah mengalami ketenangan dalam menghadapi setiap permasalahan kehidupannya. Hal ini akan berpengaruh secara positif bagi tingkat produksi yang berjangka pendek, karena dengan hati yang tenang dan tidak ada gangguan-gangguan dalam jiwanya ia akan melakukan aktifitas produksinya dengan tenang pula dan akhirnya akan dicapai tingkat produksi yang diharapkannya.
Selama ini, kesan yang terbangun dalam alam pikiran kebanyakan pelaku ekonomi -apalagi mereka yang berlatar belakang konvensional- melihat bahwa keshaleh-an seseorang merupakan hambatan dan perintang untuk melakukan aktifitas produksi. Orang yang shaleh dalam pandangannya terkesan sebagai sosok orang pemalas yang waktunya hanya dihabiskan untuk beribadah dan tidak jarang menghiraukan aktifitas ekonomi yang dijalaninya. Akhirnya, mereka mempunyai pemikiran negatif terhadap nilai keshalehan tersebut. Mengapa harus berbuat shaleh, sedangkan keshalehan tersebut hanya membawa kerugian (loss) bagi aktifitas ekonomi? Sebuah logika berfikir yang salah dan perlu diluruskan. Pelurusan pemikiran tersebut akan membawa hasil jika diacukan pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, baik yang termaktub dalam al-Qur’an al-Karim ataupun as-Sunnah as-Shadiqah.
Orientasi Produksi
Kitab suci al-Qur’an menggunakan konsep produksi barang dalam artian yang luas. Al-Qur’an menekankan manfaat dari barang yang diproduksi. Memproduksi suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan hidup manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan bukannya untuk mem-produksi barang mewah secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif. Hal ini ditegaskan al-Qur’an yang tidak memperbolehkan produksi barang-barang mewah yang berlebihan dalam keadaan apapun.
Namun demikian, secara jelas peraturan ini memberikan kebebasan yang sangat luas bagi manusia untuk berusaha memperoleh kekayaan yang lebih banyak lagi dalam memenuhi tuntutan kehidupan ekonomi. Dengan memberikan landasan ruhani bagi manusia sehingga sifat manusia yang semula tamak dan mementingkan diri sendiri menjadi terkendali.
Di dalam QS. Al-Ma’arij [70]: 19, sifat-sifat alami manusia yang menjadi asas semua kegiatan ekonomi diterangkan: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”. Sifat loba manusia menjadikan keluh kesah, tidak sabar dan gelisah dalam perjuangan mendapatkan kekayaan dan dengan begitu memacu manusia untuk melakukan berbagai aktifitas produktif. Manusia akan semakin giat memuaskan kehendaknya yang terus bertambah, sehingga akibatnya manusia cenderung melakukan kerusakan di bidang produksi.[10]
Mengacu pada pemikiran as-Syatibi,[11] bahwa kebutuhan dasar manusia harus mencakup lima hal, yaitu terjaganya kehidupan beragama (ad-din), terpeliharanya jiwa (an-nafs), terjaminnya berkreasi dan berfikir (al-‘aql), terpenuhinya kebutuhan materi (al-mal), dan keberlangsungan meneruskan keturunan (an-nasl). Maka orientasi yang dibangun dalam melakukan produksi adalah tindakan yang seharusnya dilakukan oleh setiap pelaku ekonomi muslim dalam mengarahkan kegiatan produksinya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang lima tersebut. Jika kita gambarkan dalam bentuk bagan adalah sebagai berikut:

Proses Produksi
ad-Din
an-Nafs
al-‘Aql
al-Mal
an-Nasl











Gambaran di atas memberikan pemahaman pada kita bahwa orientasi yang ingin dicapai oleh proses produksi menjangkau pada aspek yang universal dan berdimensi spiritual. Inilah yang menambah keyakinan bagi kita akan kesempurnaan ajaran Islam yang tertulis dalam QS. Al-Maidah [5]: 3 yang artinya: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. Tidak ada keraguan bagi seorang muslim untuk memberikan kebenaran bagi ajaran Allah Swt yang ada dalam al-Qur’an al-Karim.
Wallahu a’lam bi al-shawab

Daftar Pustaka


Muhammad Rawwas Qalahji, Mabahis fi al-Iqtishad al-Islamiy min Ushulihi al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar an-Nafes, 2000), Cet. ke-4.

Abdurrahman Yusro Ahmad, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad al-Islamiy, Iskandariyah, 1988.

Taqyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, (Beirut: Darul Ummah, 1990), yang dalam edisi bahasa Indonesia diberi judul Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), Cet. ke-2.

Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. ke-1.

Murasa Sarkaniputra, Adil dan Ihsan dalam Perspektif Ekonomi Islam: Implementasi Mantik Rasa dalam Model Konfigurasi Teknologi al-Ghazali-as-Syaribi-Leontief –Sraffa, draft artikel untuk Jurnal al-Iqtishadiyyah.

Monzer Kahf, The Islamic Economy: Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System, Penerj: Machnun Husein, Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, Cet. ke-1

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 1, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995)

Abu Ishaq as-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1341 H), Juz II.


[1]Awal bulan Maret yang lalu Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Jepang dalam rangka kerjasama pengembangan Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat di lingkungan UIN, sedangkan pada waktu itu Rektor UIN selaku cendekiawan muslim Indonesia dan pimpinan lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia diminta untuk menjelaskan arti agama dan nilai spiritualitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
[2] Muhammad Rawwas Qalahji, Mabahis fi al-Iqtishad al-Islamiy min Ushulihi al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar an-Nafes, 2000), Cet. ke-4, h. 62.
[3] Abdurrahman Yusro Ahmad, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad al-Islamiy, Iskandariyah, 1988, h. 39
[4] “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. (QS. Al-Baqarah [2]: 219.
[5] Taqyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, (Beirut: Darul Ummah, 1990), yang dalam edisi bahasa Indonesia diberi judul Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), Cet. ke-2, h. 151
[6] Ibid.
[7] Lihat bukunya Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. ke-1, h. 195
[8] Murasa Sarkaniputra, Adil dan Ihsan dalam Perspektif Ekonomi Islam: Implementasi Mantik Rasa dalam Model Konfigurasi Teknologi al-Ghazali-as-Syaribi-Leontief –Sraffa, draft artikel untuk Jurnal al-Iqtishadiyyah, h. 2
[9] Monzer Kahf, The Islamic Economy: Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System, Penerj: Machnun Husein, Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, Cet. ke-1
[10] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 1, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 194-195
[11] Abu Ishaq as-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1341 H), Juz II.

Jumat, 21 November 2008

BERKAH DALAM EKONOMI

BERKAH DALAM EKONOMI ISLAM
Dalam kamus bahasa Indonesia dikatakan, kata "berkah" berasal dari bahasa Arab. Akan tetapi, apakah pengertian kata "berkah" dalam bahasa Arab memiliki pengertian yang sama dengan kata "berkah" dalam bahasa Indonesia? Tulisan ini dilakukan untuk mengungkap makna kata "berkah" dalam bahasa Arab dan konsep Islam. Untuk itu, perlu diungkap terlebih dahulu pengertian kata "berkah" dalam bahasa Indonesia, sehingga dapat dipahami perbedaan pengertian kata itu dalam dua bahasa yang berbeda.
Poerwadarminta, penyusun Kamus Bahasa Indonesia, menulis bahwa kata "berkah" memiliki beberapa makna. Makna-makna itu adalah: a) Karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan kepada kehidupan manusia, misalnya dalam kalimat: Mudah-mudahan Tuhan melimpahkan berkatnya kepada kalian; b) Oleh karena dan akibat, misalnya: Berkat rajin usahanya, ia mendapat kekayaan sebanyak itu (karena rajin berusaha ia mendapat kekayaan sebanyak itu); c) Keberkatan, beruntung, dan bahagia, misalnya: Bagaimana perusahaan tuan? Berkat juga tuan (untung juga tuan); d) Makanan yang dibawa pulang sehabis berkenduri, misalnya: Ia pulang tiada membawa berkat; e) Memberkati, misalnya: Semoga pekerjaan kita ini diberkati Tuhan Yang Maha Esa, Pendeta itu berdoa untuk memberkati orang yang ada di sekitarnya, serta Barang curian tidak akan memberkati (tidak membawa kebaikan atau keselamatan); f) Restu atau pengaruh baik (menyebabkan selamat) yang didatangkan dengan perantaraan orang tua, orang suci dan sebagainya, misalnya: Ia selalu berdoa dan minta berkat kepada orang tuanya yang telah meninggal.
Dalam bahasa Arab, kata "berkah" berasal dari kata kerja madli (kata kerja yang merujuk kepada peristiwa yang terjadi pada masa lalu) baraka. Kata ini, menurut al-Asfahani, pakar bahasa al-Qur'an, dari segi bahasa, mengacu kepada arti al-luzum (kelaziman), dan juga berarti al-tsubut (ketetapan atau keberadaan), dan tsubut al-khayr al-ilahy (adanya kebaikan Tuhan). Senada dengan al-Asfahani, Lewis Ma'luf, juga mengartikan kata baraka dengan arti " menetap pada sesuatu tempat". Dari arti ini, muncul istilah birkah, yaitu tempat air pada kamar mandi. Tempat air tersebut dinamakan birkah karena ia menampung air, sehingga air dapat menetap atau tertampung di dalamnya.
Di dalam al-Qur'an, kata baraka dengan berbagai kata jadiannya muncul sebanyak 31 kali. Dari 31 kali itu, semua kata baraka dapat dikatakan mengacu kepada arti tsubut al-khayr al-ilahy. Walaupun terjadi perkembangan arti, sesuai dengan konteks kalimatnya, kata baraka tetap tidak jauh dari makna tersebut. Setelah muncul dalam struktur kata yang berbeda dan dalam konteks kalimat yang berbeda pula, diantara kata ada yang merujuk kepada sifat-sifat Tuhan, misalnya kata tabaraka Allah. Dalam konteks seperti ini, kata baraka berarti Maha Suci. Ungkapan ini dapat ditemukan, antara lain, dalam surat al-A'raf ayat 54, al-Mu'minun ayat 14, al-Furqan ayat 10 dan 61, Ghafir ayat 64, al-Zukhruf ayat 85 dan al-Mulk ayat 1. Diantara ayat yang mengandung kata baraka dalam makna ini dapat dikutip terjemahnya sebagai berikut: "Mahasuci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS al-Mulk ayat 1).
Kata tabaraka dalam ayat di atas diterjemahkan dengan makna Mahasuci, sama dengan makna kata tasbih (mensucikan). Mensucikan Allah berarti mensucikan-Nya dari sifat yang tidak layak untuk dimiliki Allah, misalnya menganggap ada lagi tuhan selain Allah, atau yang dikenal dengan istilah al-syirku. Dengan kata lain, kata tasbih berarti Mahasuci. Kata tabaraka dalam ayat 54 surat al-A'raf juga berbicara mengenai sifat Allah. Dalam ayat itu, Allah menjelaskan bahwa Tuhan ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Dia bersemayam di atas 'arasy. Dia mengganti malam dengan siang dengan pergantian yang cepat. Dia menciptakan matahari, bulan, dan bintang-bintang, masing-masing tunduk kepada perintah-Nya. Menciptakan dan memerintah adalah wewenang Allah sendiri. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.
Secara tersurat, ayat di atas dapat mengacu kepada arti bahwa Allah memiliki sifat lahiriyah, seperti makhluk-Nya. Kata yang dapat mengacu kepada arti lahiriyah tersebut ialah fi sittati ayyamin. Kata ini, secara tersurat, berarti enam hari (masa). Bila Allah ketika menjadikan makhluk memerlukan dimensi waktu, maka sama dengan perbuatan makhluk-Nya, yang memerlukan waktu untuk melakukan sesuatu. Hal itu dapat membawa kepada adanya kesamaan antara Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, kata fi sittati ayyyamin, ditafsirkan oleh para mufassir dengan arti enam periode (tahap). Kata ayyamin dalam ayat ini tidak diartikan dengan makna hari, sebab perhitungan hari, yang terdiri atas dua belas jam, baru ada setelah tercipta-Nya alam semesta ini, dan perhitungan hari itu diciptakan oleh manusia. Penafsiran kata-kata seperti ini, dalam kitab suci al-Qur'an, tidak dapat dilakukan secara lahiriyah, walaupun berdasarkan riwayat seperti yang ada dalam beberapa kitab Tafsir, sebab dapat mengacu kepada makna menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Dengan mengutip riwayat tersebut, al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan bahwa Tuhan memang menjadikan alam ini dalam enam hari. Pada hari sabtu Tuhan menjadikan tanah, pada hari ahad Tuhan menjadikan gunung, pada hari senin Tuhan menjadikan pohon-pohon, pada hari selasa Tuhan menjadikan sesuatu yang tidak disenangi, pada hari rabu Tuhan menjadikan nur (cahaya), pada hari kamis Tuhan menjadikan awan-awan dan pada hari jum'at waktu 'ashar Tuhan menjadikan Adam. Namun, riwayat yang dikutip al-Maraghi, ketika menafsirkan ayat tersebut, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai riwayat isra`iliyat. Padahal, riwayat isra`iliyat ditolak oleh kebanyakan ahli tafsir. Jadi, dalam hal ini kita dihadapkan kepada dua persoalan. Pertama, kita menghadapi ayat yang menginformasikan terma-terma keduniaan, seperti enam hari, yang mengusik kita untuk ingin mengetahui makna sebenarnya. Pada sisi lain, keterangan-keterangan yang menjelaskan ayat-ayat seperti ini banyak dipengaruhi oleh isra`iliyat.
Nampaknya, untuk tidak membawa kepada adanya sifat Tuhan yang lahiriyah, maka Tuhan menekankan dengan kata-kata ala lahu al-khalq wa al-amr (ketahuilah bahwa urusan menciptakan alam dan bumi dengan segala isinya dan mengatur kehidupan makhluknya adalah hak Tuhan semata). Hal itu pula yang dapat kita pahami dari munculnya kata penutup ayat yang berbunyi tabarak Allah rabb al-'Alamin ( Maha suci Allah, Tuhan semesta alam). Kata penutup ayat ini terkait dengan ungkapan sebelumnya, yakni ala lahu al-khalq wa al-amr, bahwa Tuhan Maha Suci dari hal-hal yang bersifat lahiriyah, seperti Tuhan membutuhkan dimensi waktu dalam menciptakan bumi dan langit, dan kekuasaan Tuhan tidak sama dengan kekuasaan makhluk-Nya. Hubungan kesesuaian antara uraian pada awal ayat dengan kata penutup dikenal dalam ilmu tafsir dengan istilah munasabah. Munasabah itu, disamping menunjuk kepada adanya kesesuaian antara awal uraian ayat dengan penutup, juga hubungan kesesuaian antara kata dengan kata lain dalam satu ayat, kesesuaian antara ayat dengan ayat lain dalam satu surat, kesesuaian antara ayat dengan ayat lain dalam surat yang berbeda, hubungan antara surat dengan nama surat dan hubungan antara penutup surat dengan awal surat berikutnya.
Dalam ayat lain ditemukan juga kata tabaraka yang berarti Mahasuci (Tuhan), misalnya dalam ayat 14 surat al-Mu`minun. Dalam ayat ini, Tuhan menjelaskan bahwa Tuhan menjadikan manusia dari air mani. Dari air mani itulah, Tuhan mengubahnya menjadi segumpal darah, kemudian menjadi tulang yang dibungkus dengan daging. Setelah itu, Tuhan menjadikannya sebagai makhluk yang berbentuk lain. Pada penutup ayat, Tuhan mengatakan: "Maha suci Allah, Pencipta yang paling baik." Kata tabaraka, yang diartikan maha suci oleh Departemen Agama dalam ayat ini, berarti bahwa Tuhan dalam menciptakan segala sesuatu, antara lain menciptakan manusia yang mengalami beberapa proses, tidak dibantu oleh siapa pun. Dia sendiri yang menciptakannya dan Maha Kuasa menciptakan seperti itu. Jadi, kata tabaraka berarti tidak membutuhkan pendamping dalam menciptakan alam dengan segala isinya yang cukup luas dan indah.
Dari kata baraka muncul kata mubarakat. Kata ini ditemukan dalam surat al-Dukhan ayat 2. Dalam ayat ini, Tuhan menjelaskan bahwa al-Qur'an turun pada malam yang di"berkah"i (mubarakah). Kata mubarakah dalam ayat ini, dapat dipahami dengan jelas jika dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang berbicara mengenai masalah yang sama, misalnya ayat 1 surat al-Qadr. Dalam ayat disebut tarakhir ini, Allah menjelaskan bahwa al-Qur'an diturunkan pada malam Qadr. Pada malam Qadr itu, Allah memberikan nilai pahala yang berlipat ganda kepada orang yang melakukan ibadah. Nilai ibadah pada malam itu, lebih baik dari nilai ibadah pada seribu bulan lainnya. Dengan mencari munasabah antara ayat-ayat seperti ini dapat dipahami bahwa kata mubarakah dalam surat al-Dukhan ayat 2 merujuk kepada arti kebaikan Tuhan yang diberikan kepada orang-orang yang beribadah pada malam tersebut, yakni kebaikan yang berlipat ganda bila dibandingkan dengan pahala ibadah pada malam-malam lainnya.
Dalam ayat 1 surat al-Furqan ditemukan juga kata tabaraka, yang mengacu kepada arti Mahasuci Tuhan. Dalam ayat tersebut, Allah disamping menjelaskan bahwa Ia menurunkan al-Furqan (al-Qur'an) kepada hamba-Nya untuk menjadi peringatan bagi alam semesta, Ia juga menggunakan kata tabaraka yang dikaitkan dengan diturunkannya al-Qur'an. Pentingnya penempatan kata tabaraka dalam kaitannya dengan diturunkannya al-Qur'an, karena substansi al-Qur'an tidak dapat ditandingi oleh manusia, sejak diturunkannya pada masyarakat jahiliyah hingga zaman kita sekarang. Memang ada beberapa orang yang mencoba menandingi al-Qur'an, antara lain Musailamah al-Kazzab, dan Utbah bin Rabi'ah, namun usaha mereka tidak pernah menyamai al-Qur'an, apalagi menandinginya. Bahasa-bahasa yang mereka susun, yang dikatakan sebagai al-Qur'an, jauh berbeda dengan bahasa-bahasa al-Qur'an yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad. Jadi, penempatan kata tabaraka dalam ayat 1 surat al-Furqan, dan dengan dikaitkannya dengan uraian mengenai al-Qur'an yang datang dari sisi Allah serta kenyataannya yang tidak dapat ditandingi oleh manusia, menunjukkan sifat kemahakuasaan Tuhan yang jauh dari kekuasaan manusia.
Bentuk lain dari kata baraka ialah barakat (jamak dari kata barakah). Dalam bentuk seperti ini, kata barakah berarti tsubut al-khayr al-ilahiy. Makna kata barakah seperti ini dapat ditemukan dalam al-Qur'an surat Fushshilat ayat 10, surat al-A'raf ayat 137, surat al-Isra' ayat 1, surat al-Anbiya' ayat 71, dan 81, surat Saba' ayat 218, dan surat al-A'raf ayat 96. Diantara ayat yang mengandung kata barakah dalam makna seperti ini dapat dikutip terjemahnya sebagai berikut: "Jikalau sekiranya penduduk kota beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka "berkah" dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat (Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."
Kata barakat dalam ayat di atas berarti kebaikan Tuhan. Kebaikan itu tidak diterima begitu saja oleh manusia. Ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh manusia untuk mendapatkannya. Dalam surat al-A'raf ayat 96, misalnya, Tuhan mengaitkan pemberian-Nya ("berkah") dengan keimanan dan ketaqwaan. Kebaikan itu dapat muncul dari langit dan dari bumi. Menurut Ahmad Mushthafa al-Maraghi, penulis Tafsir al-Maraghi, "berkah" dari langit mencakup pengetahuan yang diberikan Tuhan dan ilham (bimbingan)-Nya dan dapat pula berarti hujan dan semacamnya yang mengakibatkan kesuburan dan kemakmuran tanah. Sedangkan "berkah" dari bumi adalah tumbuhnya tanaman setelah turunnya hujan dari langit. Lebih lengkapnya, al-Maraghi menafsirkan bahwa seandainya penduduk suatu negara beriman kepada apa-apa yang dibawa oleh Rasul Tuhan, misalnya mentauhidkan-Nya, dan menjauhkan diri dari kemusyrikan dan tidak membuat kerusakan di bumi, maka Tuhan akan memberikan kebaikan ("berkah"). "berkah" itu berupa turunnya hujan dari langit yang menyuburkan tanah. Akibatnya, makmurlah kehidupan penghuni bumi. "berkah" lain adalah berupa ilmu pengetahuan dan pemahaman terhadap sunatullah (hukum alam). Tegasnya, menurut al-Maraghi, bila penduduk negeri beriman dan bertaqwa, Allah akan memperluas kebaikan kepada mereka dalam segala segi.
Namun dalam ayat-ayat lain, Tuhan tidak menjelaskan bahwa untuk mendapat kebaikan harus dengan syarat-syarat tertentu, misalnya keimanan dan ketaqwaan. Dalam surat al-Isra' ayat 1, misalnya Tuhan menjelaskan bahwa Nabi Muhammad diisra'kan (dijalankan pada malam hari) oleh Tuhan dari Masjid al-Haram (kota Makkah) ke Masjid al-Aqsha (Palestina). Masjid al-Aqsha dan daerah-daerah sekitarnya di"berkah"i oleh Allah. Depertemen Agama mengartikan ungkapan "Tuhan memberi "berkah" Masjid al-Aqsha dan daerah-daerah sekitarnya" dengan arti" Tuhan menurunkan Nabi-Nabi dan menjadikan subur tanah sekitarnya".
Memang, Masjid al-Aqsha sangat tepat dinamakan tempat yang mendapat "berkah" --dalam pengertian yang diberikan oleh Departemen Agama di atas. Sebab, Nabi yang diutus Tuhan untuk membawa kebaikan hidup manusia, kebanyakan diutus di Masjid al-Aqsha dan sekitarnya. "berkah" diutusnya para Nabi, manusia mendapat ilmu pengetahuan dan petunjuk dalam kehidupannya yang, pada umumnya, tertuang dalam kitab suci yang dibawa oleh para nabi tersebut.
Terlepas dari apakah turunnya "berkah" Tuhan harus diawali oleh keimanan dan ketaqwaan manusia atau tidak, kata "berkah" itu sendiri tetap mengacu kepada adanya kebaikan Tuhan, baik yang ada pada manusia maupun yang ada pada makhluk lainnya. Al-Qur'an sendiri disebut oleh Allah sebagai kitab suci yang di"berkah"i (kitab mubarak). Al-Qur'an disebut kitab yang di"berkah"i adalah karena ia mengandung ajaran-ajaran yang baik yang datang dari Tuhan. Tidak ada ajaran dalam al-Qur'an yang tidak baik. Manusia, karena keterbatasannya, terkadang tidak dapat memahami kebaikan yang terkandung dalam kitab suci tersebut. Kata mubarakah juga ditemukan dalam ayat 35 surat al-Nur.
Dalam ayat ini Allah menggunakan kata "berkah" untuk menyifati pohon zaitun, walaupun kata tersebut tetap mengacu kepada makna tsubut al-khayr al-ilahiy. Tegasnya, terdapat kebaikan Allah dalam pohon tersebut, baik yang menyangkut letak pohon tersebut atau substansi dari pohon zaitun itu sendiri. Dari segi letaknya, sebagaimana diterangkan dalam ayat ini, pohon zaitun itu terletak pada suatu tempat yang cukup strategis, yaitu tumbuh di puncak bukit, sehingga ia mendapat sinar pada saat matahari terbit dan pada saat matahari terbenam. Akibat letaknya yang strategis, pohon zaitun tumbuh subur. Substansi pohon zaitun itu sendiri dapat menghasilkan minyak yang baik untuk kesehatan manusia. Jadi ringkasnya, penggunaan kata berkat dalam ayat al-Qur'an tidak saja menyangkut kebaikan Allah kepada sesuatu yang diungkap dalam ayat itu, tetapi juga menyangkut sesuatu yang tidak substansial, misalnya letak pohon zaitun seperti yang diterangkan dalam ayat 35 surat al-Nur tersebut.
Kata "berkah" juga digunakan oleh Allah untuk menyifati air (ma`an mubarakan), seperti yang terdapat dalam surat Qaf ayat 9. Kata mubarakan dalam ayat ini pun tetap mengacu kepada kebaikan Allah, yakni yang terdapat dalam air tersebut. Sebagaimana diterangakan pada ayat-ayat setelahnya, air berguna, antara lain, untuk menumbuhkan pohon-pohon yang terdapat dalam kebun-kebun, dan biji-bijian seperti padi, jagung, gandum dan sebagainya yang dapat dipanem. Air juga berguna untuk menumbuhkan pohon kurma yang tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun. Semua itu untuk menjadi rezeki bagi hamba Allah.
Memang, air memiliki manfaat yang cukup banyak. Oleh karena itu, pada ayat 30 surat al-Anbiya`, Allah menjelaskan bahwa Dia menjadikan segala sesuatu yang hidup dari air. Kata-kata "berkah" yang muncul dalam al-Qur'an, semuanya mengacu kepada sebuah arti bahwa pelaku yang memberi "berkah" hanyalah Allah. Oleh sebab itu, baik al-Asfahani, al-Maraghi maupun Lewis, sama-sama memberi arti kata "berkah" dengan arti kebaikan Tuhan. Dengan demikian, ungkapan yang digunakan oleh orang, misalnya: Dengan "berkah" si Fulan, saya tertolong dari segala kesusahan" tidak dipahami dengan arti" si Fulan yang memberi "berkah"", akan tetapi mengacu kepada arti "akibat". Dengan kata lain, akibat si Fulan, saya terhindar dari segala kesusahan. Jadi, si Fulan tidak mempunyai wewenang memberi kebaikan ("berkah"), tapi Tuhanlah yang memberi kebaikan ("berkah"). Si Fulan hanya memberi bantuan kepada orang lain dari kebaikan ("berkah") yang diberikan Tuhan kepadanya.
Ungkapan baraka fiy digunakan untuk mendoakan seseorang supaya mendapat kebaikan atau kerelaan dari Tuhan. Ungkapan baraka Allah fika wa 'alayka berarti ja'alaka mubarakan (Allah memberi kebaikan kepadamu ). Adapun ungkapan al-barak dapat pula berarti al-sa'adah (kebahagiaan), atau al-ziyadah (tambahan). Dari arti asal kata "berkah" ini, dapat dipahami bahwa orang yang dido'akan orang lain agar mendapat "berkah" berarti dido'akan semoga mendapat keridlaan Tuhan. Dengan ridla Tuhan, ia akan mendapat kebahagiaan dan nikmat Tuhan.
Rasulullah pernah mengajarkan ucapan yang ditujukan kepada sepasang penganten yang baru saja melangsungkan perkawinan, yang berbunyi: Baraka Allah lakuma wa baraka alaykuma wa jama'a baynakuma fi khayr" mengandung pengertian doa. Ungkapan tersebut berarti semoga Allah memberi kebaikan kepada sepasang penganten yang baru saja memasuki kehidupan rumah tangga dan menjadi pasangan yang langgeng sepanjang masa.
Kembali kepada ayat yang berbunyi: Hadza dzikrun mubarakun anzalnahu (Qur'an surat al-An'am ayat 92). Ayat ini mengandung makna bahwa kitab suci tersebut berisi kumpulan peraturan yang berbentuk perintah dan larangan Tuhan, yang kalau perintah itu dikerjakan dan larangan dihindari, seseorang akan mendapat kebaikan. Undang-undang itu merupakan sebagian kebaikan yang datang dari Allah. Masih banyak lagi nikmat Tuhan yang tidak dapat dihitung dan diduga. Sesuatu yang dirasakan mendapat tambahan kebaikan Tuhan, walaupun tidak dapat dilihat, disebut juga sebagai "berkah".
Dalam hubungannya dengan tambahan kebaikan ini, Rasulullah bersabda:" Harta benda tidak akan berkurang karena disedekahkan". Secara lahiriyah, mengeluarkan sedekah berarti mengurangi harta. Akan tetapi secara tersirat, harta tidak akan berkurang, bahkan akan bertambah, yakni artinya, Tuhan akan menambah lagi rejeki kepada orang yang mengeluarkan harta, yang boleh jadi tanpa diduga dan tanpa diketahui oleh orang tersebut. Orang yang merasa merugi karena mengeluarkan harta di jalan Allah, karena ia hanya mencari hubungan lahiriyah antara infak harta di jalan Allah dengan kebaikan yang diperolehnya. Dicari dengan jalan apa pun, apalagi dengan jalan ilmiah, yang menuntut adanya pemikiran rasional, obyektif, dan sistimatis, tidak akan ditemukan hubungan antara dua hal di atas.
Oleh karena itu, dibutuhkan sikap imani, yaitu keimanan yang mendalam bahwa sebagian nikmat Tuhan yang kita rasakan dalam kehidupan ini, atau bahkan seluruhnya, adalah pemberian Tuhan. Pemberian Tuhan boleh jadi karena Tuhan memiliki sifat Rahman (pengasih). Dengan sifat itu, Tuhan dapat memberi kebaikan kepada siapa saja, tanpa memandang suku, ras, agama dan golongan.
Sebaliknya, sanksi (siksaan) Tuhan di dunia terhadap orang yang berdosa, tidak dapat diperhitungkan secara ilmiah dan rasional, sebab tidak ada hubungan yang dapat dilihat secara kongkrit antara pelanggaran yang dilakukan dengan balasan Tuhan di dunia. Hanya sikap imani pula yang dapat mengakui adanya hubungan antara pelanggaran dengan sanksi di dunia.
Dari uraian yang dipaparkan di atas, dapat dipahami bahwa "berkah" adalah kebaikan Tuhan, baik berupa materi maupun non materi. "Berkah" atau kebaikan itu hanya milik Tuhan dan datang dari Tuhan. Dari makna kata "berkah" dalam konsep Islam, dapat diketahui bahwa beberapa makna "berkat" dalam bahasa Indonesia, ada yang tidak sejalan dan ada pula yang sejalan dengan arti "berkah" dalam konsep Islam. Diantara makna kata "berkah" dalam bahasa Indonesia yang tidak sejalan dengan makna kata "berkah" dalam konsep Islam ialah restu atau pengaruh baik (yang menyebabkan selamat) yang didatangkan dengan perantaraan orang tua, orang suci dan sebagainya, misalnya dalam contoh: "Ia selalu berdoa dan minta berkat kepada orang tuanya yang telah meninggal." Makna kata "berkah" seperti ini tidak terdapat dalam konsep Islam, sebab orang yang telah meninggal dunia tidak dapat berhubungan lagi dengan orang yang masih hidup, apalagi memberi kebaikan. Makna lain dari kata berkat dalam bahasa Indonesia yang tidak sejalan dengan makna kata "berkah" dalam konsep Islam ialah akibat, misalnya dalam contoh: "Berkat rajin belajar, ia lulus dalam ujian." Makna kata "berkah" seperti ini tidak dikenal dalam konteks bahasa Arab dan konsep Islam. Orang Arab bila ingin mengungkap keberhasilannya, yang dilatar belakangi oleh kerja keras, mereka mengungkapkannya, antara lain, dengan kalimat: "Huwa najaha fi al-imtihan, li'annahu ta'allama bi juhdin"( Ia lulus dalam ujian, karena belajar dengan sungguh-sungguh). Makna lain lagi dari kata berkat dalam bahasa Indonesia yang tidak sejalan dengan makna kata berkat dalam konsep Islam ialah makanan yang dibawa pulang sehabis berkenduri. Ungkapan seperti ini tidak dikenal dalam bahasa Arab dan Islam. Ungkapan tersebut hanya dapat dipahami dengan arti al-ziyadat (kelebihan). Artinya, orang yang mengadakan kenduri, karena memiliki kelebihan harta atau rezeki, lalu membagi-bagikannya kepada orang lain. Selanjutnya, makna lain lagi dari kata "berkah" dalam bahasa Indonesia yang tidak sejalan dengan makna kata "berkah" dalam konsep Islam ialah memberkati atau berdoa, misalnya dalam kalimat: "Pendeta itu mendoa sambil memberkati orang yang ada di sekitarnya." Sebab, hanya Allah yang dapat memberi "berkah".
Sedangkan makna kata "berkah" dalam bahasa Indonesia yang sejalan dengan makna kata "berkah" dalam konsep Islam ialah karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan kepada kehidupan manusia, misalnya dalam kalimat: "Mudah-mudahan Tuhan melimpahkan berkat-Nya kepada kita sekalian". Makna ini memang sesuai dengan makna kata berkat dalam Islam, sebab makna kata "berkah" ialah tsubut al-khayr al-ilahiy (adanya kebaikan Tuhan). Kebaikan itu dapat dirasakan oleh seseorang, baik sebagai balasan atas ketaqwaan dan keimanannya kepada Tuhan maupun diberikan begitu saja oleh Tuhan karena sifat maha pemurah-Nya dan Maha Kuasa-Nya untuk berbuat sekehendak hatinya, tanpa ada yang mampu menghalanginya. @