Kamis, 22 Oktober 2009

KONSEP AKUNTANSI SYARIAH

TEORI AKUNTASI SYARI’AH

Teori merupakan seperangkat asas hipotesis, konseptual dan pragmatis yang terjalin satu sama lain yang membentik suatu kerangka acuan untuk suatu bidang pengetahuan. Jadi teori akuntansi dapat diartikan sebagai suatu penalaran logis dalam bentuk seperangkat asas atau prinsip yang : (1) menjadi kerangka acuan umum untu menilai praktik-praktik akuntansi, dan (2) menjadi pedoman bagi pengembangan praktik-praktik dan prosedur yang baru. Teori akuntansi dapat dipergunakan untuk memperjelas prakti-praktik yang sekarang berjalan, tetapi tujuan utama teori akuntansi adalah mengadakan suatu kerangka acuan untuk menilai dan mengembangkan praktik-praktik akuntansi yang sehat.
Akuntansi syari’ah, sebagaimana telah dijelaskan kerangka teori sebagai berikut:













Gambar 4.1. Kerangka Teori Akuntansi Syari’ah
Berdasarkan gambar 4.1, maka syari’ah menjadi sumber teori akuntansi syari’ah. Syari’ah adalah etika bagi Muslim; ia merupakan pedoman hidup dan way of life bagi Muslim. Tujuan akuntansi syari’ah adalah turunan dari syari’ah tersebut. Dengan demikian, syari’ah menjadi sumber dari segala elemen kerangka teori akuntansi syari’ah, baik dalam perumusan tujuan laporan keuangan, konsep dasar, konsep atau prinsip, dan tehnik akuntansi. Bagian ini membahas laporan keuangan akuntansi syari’ah, kemudian konsep dasar akuntansi syari’ah, konsep (prinsip) akuntansi syari’ah, serta tehnik akuntansi syari’ah.

Tujuan Laporan Keuangan Akuntansi Syari’ah
Tujuan akutansi syari’ah dibedakan dengan tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah. Tujuan akuntansi syari’ah berdasarkan pada tujuan ekonomi Islam, yaitu pemerataan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dan tidak hanya diperuntukan pada seseorang atau segolongan orang saja.oleh sebab itu, Islam menyediakan sarana untuk pemerataan kesejahteraan dengan sistem zakat, infak, sedekah, dan sistem tanpa bunga. Pelaporan keuangan dan sistem akuntansi dalam Islam didesain sesuai dengan sistem ekonomi dan bisnis Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah (Hadis). Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku ”; Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus “; Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu; Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu..... “; Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya kepadamu... . Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa tujuan hidup manusia- dalam seluruh aktivitasnya – adalah beribadah kepada Allah. Hal ini mencakup aktivitas ekonomi dan di dalamnya adalah akuntansi. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, maka tujuan akuntansi syari’ah adalah pertanggungjawaban (accountability), baik pertanggungjawaban terhadap Allah, pihak-pihak yang berhak atas perusahaan, maupun alam. Akuntanbilitas bukan hanya suatu kewajiban untuk melaporkan pelaksanaan aktivitas dan transaksi ekonomi, namun kewajiban untuk melaksanakan atau untuk tidak melaksanakan aktifitas yang tidak sesuai syari’ah. Akuntansi syari’ah juga menjadi sarana memberikan informasi kepada pihak internal dan eksternal perusahaan. Oleh karena itu, beberapa penulis menetapkan pertanggungjawaban dan informasi sebagai tujuan akuntansi syari’ah. Akuntanbilitas merupakan representasi dari unsur spirit-ruh, jiwa-atau etika, atau unsur ukhrawi, atau unsur feminin, sedangkan informasi merupakan representasi unsur materi, atau unsur ekonomi, atau unsur duniawi, atau unsur maskulin.
Tujuan informasi (laporan keuangan) akuntasi syari’ah, dengan demikian harus memenuhi kewajiban pertanggungjawaban (accountability) dan informasi. Tujuan ini harus diwujudkan dama bentuk bagaimana seseorang dapat menghitung kewajiban zakatnya secara benar. Oleh karena itu, maka tujuan utama (main objective) laporan keuangan adalah untuk penentuan zakat. Tujuan utama laporan keuangan akuntansi syariah, yakni zakat, dapat didampingi oleh tujuan-tujuan praktis (current objectives of accounting information) sejauh tujuan-tujuan tersebut tidak bertentangan dengan syariah. Tujuan-tujuan tambahan tersebut diantaranya: memelihara harta; membantu dalam mengambil keputusan; menentukan dan menghitung hak-hak mitra berserikat; menentukan imbalan, balasan, atau sanksi.

Konsep Dasar Akuntansi Syariah
Konsep dasar (basic consepts/basic feature) disebut juga asumsi atau postulat, adalah aksioma atau pernyataan yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya karena secara umum telah diterima kesesuaiannya dengan tujuan laporan keuangan, dan menggambarkan lingkungan ekonomi, politik, sosial, dan hukum dimana akuntansi beroperasi. Jelas bahwa penentuan konsep dasar dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan di mana akuntansi beroperasi. Ia diturunkan dari tujuan laporan keuangan berfungsi sebagai fondasi bagi prinsip-prinsip akuntansi. Sebagaimana dibahas sebelumnya, tujuan laporan keuangan akuntansi syariah adalah untuk memberikan pertanggungjawaban dan informasi. Menurut Belkoui, seperti dikutip oleh Rosjidi, konsep dasar akuntansi adalah entitas akuntansi, kesinambungan, unit pengukuran, dan periode akuntansi, yang masing-masing konsep dasar dibahas di bawah ini:
1. Entitas Bisnis (Business Entity/al-Wihdah al-Iqtishadiyah)
Entitas atau kesatuan bisnis adalah perusahaan dianggap sebagai entitas ekonomi dan hukum terpisah dari pihak-pihak yang berkepentingan atau para pemiliknya secara pribadi. Syahatah menyebutnya sebagai kaidah independensi jaminan keuangan. Oleh karena itu seluruh transaksi keuangan dan informasi akuntansi hanya berhubungan dengan entitas dimaksud-perusahaan-yang membatasi kepentingan para pemiliknya.

2. Kesinambungan (going concern).
Konsep ini merupakan suatu konsep yang menganggap entitas akan berjalan terus, apabila tidak terdapat bukti sebaliknya. Ini didasarkan pada pengertian bahwa kehidupan ini juga berkesinambungan. Manusia memang akan fana, tapi Allah akan mewariskan semua yang ada di alam ini. Maka, seorang Muslim yakin bahwa anak-anaknya dan saudara-saudaranya akan meneruskan aktifitas itu setelah ia meninggal. Mereka juga yakin bahwa harta yang diperoleh dari aktifitas kerjanya itu adalah milik Allah, seperti firman Allah, “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan nafkahkanlah sebagian harta kamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya... . Hal ini dapat dikaitkan dengan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut, Allah menyayangi orang yang mencari nafkah yang baik dan menafkahkannya secara sederhana (tidak berlebih-lebihan) serta menabung sisanya untuk persiapan pada hari ia membutuhkan dan pada hari fakirnya. Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata, “berusahalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya dan berusahalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok hari” . Pengaplikasian kaidah ini adalah untuk penentuan dan penghitungan laba serta menghitung harga-harga sisa suplai untuk tujuan penghitungan zakat harta. Dari sini dapat dipahami bahwa perhitungan zakat itu berdasarkan kesinambungan (kontinuitas) sebuah perusahaan dan bukan berdasar penutupan atau likuidasi suatu perusahaan. Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai masalah ini.

3. Stabilitas Daya Beli Unit Moneter (The Stability of the Purchasing Power of the Monetary Unit).
Postulat ini merupakan term yang digunakan oleh Adnan dan Gaffikin terhadap suatu term yang biasanya disebut “unit pengukuran (unit of measure) atau “unit moneter (moneter unit) seperti digunakan oleh beberapa penulis buku. Postulat ini menunjukkan pentingnya menilai aktifitas-aktifitas ekonomi dan mengesahkannya atau menegaskannya dalam surat-surat berdasarkan kesatuan moneter, dengan memposisikannya sebagai nilai-nilai terhadap barang-barang, serta ukuran untuk penentuan harga dan sekaligus sebagai pusat harga. Mempertimbangkan bahwa uang yang biasa dipahami dalam akuntansi konvensional -uang kertas dan logam-, rentan terhadap ketidakstabilan, maka satuan maneter yang memenuhi syarat postulat ini adalah mata uang emas dan perak. Mata uang emas dan perak tidak mengenal dikotomi nilai nominal dan nilai intrinsik, nilai uang emas dan perak adalah senilai emas dan peraknya. Hal inilah yang menyebabkan uang emas dan perak resisten terhadap efek inflasi. Pada zaman Rasulullah Saw., satu dirham (uang perak) senilai seekor ayam, satu dinar adalah nilai tukar seekor kambing dewasa, harga ini berlaku sampai sekarang. Mempertimbangkan kompleksitas lingkungan bisnis masa sekarang, pengaplikasiannya menjadi satu hal yang tidak dapat diterapkan sepenuhnya. Dalam suatu negara yang tidak menggunakan mata uang emas dan perak, postulat ini jelas tidak dapat dipenuhi. Beberapa pakar akuntansi menjadikan ini sebagai rukhsah (keringanan) sebagai suatu kondisi darurat, untuk dapat menggunakan standar nilai uang sebagai unit pengukuran, selama belum ada solusi yang mampu mengatasinya. Penulis berharap akan ada usaha menuju perbaikan ke arah penerapan standar emas dan perak ini, secara bertahap.

4. Periode Akuntansi.
Dalam Islam, ada hubungan erat antara kewajiban membayar zakat dengan dasar periode akuntansi (haul). Hal ini sehubungan dengan sabda Rasulullah Saw., “Tidak wajib zakat pada suatu harta kecuali telah sampai haulnya. Berdasarkan hadis ini, setiap Muslim secara otomatis diperintahkan untuk menghitung kekayaannya setiap tahun untuk menentukan besarnya zakat yang harus ia bayar . Mengenai waktu pembayarannya, bila menggunakan kalender Hijriyah, maka awal tahun penghitungan zakat adalah bulan Muharram. Adapun bila menggunakan kalender Masehi, awal tahun adalah bulan Januari.

Prinsip Akuntansi Syariah
Prinsip akuntansi syariah merupakan aturan keputusan umum yang diturunkan dari tujuan laporan keuangan dan konsep dasar akuntansi syariah yang mengatur pengembangan tehnik akuntansi syariah. Prinsip-prinsip akuntansi syariah sebagai berikut:
1. Prinsip pengungkapan penuh (full disclosure principle)
Prinsip ini mengharuskan laporan akutansi untuk mengungkapkan hal-hal yang penting agar laporan tersebut tidak menyesatkan . Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan pemenuhan hak dan kewajiban kepada Allah, masyarakat, dan individu yang berkepentingan dengan perusahaan . Dengan demikian, akuntansi syariah dilandasi oleh nilai kejujuran dan kebenaran, sebagaimana telah diperintahkan Allah SWT,”.... hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis .

2. Prinsip konsistensi ( consistensy principle)
Prosedur akuntansi yang digunakan oleh suatu entitas harus sesuai untuk pengukuran posisi dan kegiatannya dan harus dianut secara konsisten dari waktu ke waktu , sesuai denga prinsip yang dijabarkan oleh syariah . Penekanan pada konsisten terhadap prinsip yang sesuai dengan syariah berarti tak ada konsistensi terhadap suatu prinsip yang tidak sesuai syariah, sehingga apabila pelaporan menggunakan prinsip akuntansi yang tidak sesuai syariah dan harus dilakukan penyesuaian atas perubahan prinsip akuntansi, dan hal ini harus dilaporkan dalam laporan keuangan. Prinsip konsistensi menyebabkan penggunaan prinsip yang sesuai dengan prinsip syariah tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dalam periode-periode selanjutnya.

3. Prinsip dasar akrual (accrual basis principle)
Akrual (accrual) diartikan sebagai proses pengakuan non-kas dan keadaanya pada saat terjadinya. Akrual mengakibatkan pengakuan pendapatan berarti peningkatan aset dan beban berarti peningkatan kewajiban sebesar jumlah tertentu yang diterima atau dibayar-biasanya dalam bentuk cash-dimasa depan . Penentuan hasil usaha periodik dan posisi keuangan perusahaan dipengaruhi oleh metode pengakuan dan pengukuran atas sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan, serta seluruh perubahannya pada saat realisasi penerimaan atau pengeluaran uang (cash basis) . Dasar akrual ini berhubungan erat dengan postulat periode akuntansi. Dengan kata lain, pengaplikasian dasar akrual merupakan konsekuensi dari postulat periode akuntansi .
Sejalan dengan tujuan akuntansi syariah sebagai sarana penentuan zakat, Syahatah menyatakan, “Adapun untuk penghitungan zakat mal, tidaklah perlu untuk menunggu pencairan (cash) harta itu. Memang, hakikat laba akan lebih jelas dengan adanya jual beli, tetapi yang menjadi patokan penghitungan zakat itu ialah pada penentuan nilai atau harga, bukan dengan nyatanya laba dengan jual beli .



Namun prinsip itu menemukan pengecualian dalam syirkah mudarabah yang bersifat sementara, yaitu pendapatan diakui dengan dasar kas (cash basis) . Hal ini disebabkan syirkah mudarabah yang sifatnya sementara, kelangsungan usahanya sebatas kontrak yang disetujui, biasanya relatif pendek.

4. Prinsip nilai tukar yang sedang berlaku (exchange value general level price)
Penilaian dan pengukuran harta, utang, modal, laba, serta elemen-elemen lain laporan keuangan akuntansi syariah, menggunakan nilai tukar yang sedang berlaku. Imam Malik, mengenai hal ini, berpendapat bahwa dalam syirkah mudarabah, jika pemilik harta ingin melakukan penghitungan harta sebelum semua barang terjual, yang dinilai adalah barang-barang yang masih tersisa berdasarka harga jual waktu itu dan penghitungan dilakukan dengan cara seperti ini. Namun padabarang yang masih mempunyai pasar- belum terjual dan masih bertahan di pasar -, barang-barang ini dinilai berdasarkan nilai jual yang mungkin .

5. Prinsip penandingan (matching).
Prinsip penandingan menyatakan bahwa beban (expense) harus diakui pada periode yang sama dengan pendapatan (revenue). Hubungan terbaik dapat dicapai ketika hubungan tersebut menggambarkan hubungan sebab-akibat antara biaya dan pendapatan. Jika laba dilaporkan secara bertahap sepanjang keseluruhan proses operasi perusahaan, pengukuran aktiva bersih perusahaan akam meningkat tatkala nilai ditambahkan oleh perusahaan. Dalam kasus ini, tidak ada keperluan untuk konsep penandingan. Akan tetapi, karena transaksi pendapatan dan beban dilaporkan secara terpisah, karena perolehan dan pembayaran barang dan jasa biasanya tidak bersamaan dengan proses penjualan dan penagihan berkaitan dengan produk yang sama dari perusahaan, penandingan harus dianggap diperlukan, atau setidaknya suatu ketentuan yang diinginkan. Tenggang dan kesenjangan dalam perolehan dan penggunaan, dan pembayaran dan jasa diasumsikan menjadi alasan untuk akrual dan penanguhan untuk menandingkan bebabn dengan pendapatan yang berhubungan . Bagaimanapun, prinsip penandingan mampu menunjukkan konsep dasar akrual daripada konsep dasar kas .
Beberapa prinsip akuntansi konvesional tidak sesuai dengan akuntansi syariah, di antaranya: prinsip konservatisme, prinsip biaya historis, prinsip objektivitas, dan prinsip materialistas. Berikut ini penjelasan penolakan syariah terhadap masing-masing prinsip:
1. Prinsip konservatisme (conservatism principle). Prinsip konservatisme merupakan prinsip pengecualian atau modifikasi, artinya bahwa prinsip tersebut bertindak sebagai batasan untuk penyajian data akuntansi yang relevan dan dapat dipercaya . Prinsip ini menyatakan bahwa ketika memilih diantara dua atau lebih tehknik akuntansi yang dapat diterima, maka preferensinya adalah memilih yang paling kecil dampaknya terhadap ekuitas pemegang saham. Prinsip ini, dalam akuntansi konvesional berkaitan dengan ketidakpastian, umumnya digunakan untuk mengartikan bahwa akuntan harus melaporkan yang terendah dari beberapa nilai yang mungkin untuk aktiva dan pendapatan; dan yang tertinggi dari beberapa nilai yang mungkin untuk kewajiban dan beban. Ini berarti bahwa beban harus diakui segera dan pendapatan harus diakui nanti, bukan segera. Oleh karena itu, aktiva bersih lebih cenderung diakui dibawah nilai harga pertukaran kini daripada di atasnya; dan perhitungan laba mungkin menghasilkanyang terendah dari beberapa jumlah alternatif. Jadi, pesimisme diasumsikan lebih baik daripada optimisme dalam pelaporan keuangan . Hendriksen dan Breda menilai prinsip konservatisme ini sebagai metode yang sangat buruk untuk menghitungkan adanya ketidakpastian dalam penilaian dan laba. Konservatisme mempunyai pengaruh yang berubah-ubah, oleh karena itu data yang dikumpulkan secara konservatif tidak dapat diinterprestasikan dengan tepat bahkan oleh pembaca yang sangat terinformasi. Konservatisme juga bertentangan dengan tujuan mengungkapkan semua informasi yang relevan . Berdasarkan sifat-sifatnya tersebut, secara jelas dan mudah dipahami bahwa prinsip ini tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, bagi akuntansi syariah, bahkan secara logis, prinsip konservatisme tidak dapat diterima .
2. Prinsip biaya historis (historical cost principle) menyatakan bahwa aset, kewajiban, beban, keuntungan, kerugian, dinilai sebesar nilai perolehan. Metode pengukuran beban dan kerugian konvesional adalah dalam pengertian biaya historis dalam perusahaan. Prinsip ini tidak mungkin dipakai untuk menentukan besarnya zakat karena penentuan zakat menggunakan nilai sekarang, sebagaimana firman Allah:
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buhnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan yang tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila ia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan .

Perintah mengeluarkan zakat dengan ungkapan “ ... dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya. Menegaskan bahwa zakat berdasarkan harta yang dihitung dengan nilai sekarang. Prinsip biaya historis juga tidak sejalan dengan konsep dasar stabilitas daya beli unit moneter.
3. Prinsip obyektivitas (objectivity principle). Kegunaan informasi keuangan tergantung pada tingkat reliabilitas prosedur pengukuran yang digunakan. Karena menjamin reliabilitas maksimum sangat sulit, akuntansi konvesional telah menggunakan prinsip objektivitas untuk menjustifikasi pemilihan prosedur pengukuran yang digunakan. Prinsip objektivitas, bagaimanapun, telah menjadi objek interprestasi yang berbeda:
a. Pengukuran objektivitas merupakan pengukuran yang tidak bersifat personal dalam pengertian bebas dari bias personal pengukurnya. Dengan kata lain, objektivitas merujuk pada realitas eksternal yang independen dari orang yang menerimanya;
b. Pengukuran objektivitas merupakan pengukuran variabel dalam pengertian bahwa pengukuran didasarkan pada bukti;
c. Pengukuran objektivitas merupakan hasil konsensus diantara kelompok pengamat atau pengukur tertentu. Pandangan ini juga memandang bahwa objektivitas tergantung pada kelompok tertentu.
Dalam akuntansi konvesional, prinsip obyektivitas dilaksanakan untuk memenuhi karakteristik reliabel dan netralitas, di mana karakteristik ini diadakan untuk tujuan sekunder (current objective) informasi akuntansi, yakni membantu dalam pembuatan keputusan ekonomi. Namun demikian, prinsip objektivitas yang mempunyai interprestasi-interprestasi di ats, tdak sejalan dengan tujuan utama (the time pime objective) laporan keuangan akuntansi syariah yaitu zakat. Zakat merupakan aturan yang pasti ketentuannya, besarnya telah ditetapkan dalam syariah.
4. Prinsip matrealitas (materiality principle). Seperti halnya prinsip konservatisme, materialitas merupakan prinsip pengecualian atau modifikasi. Prinsip ini menyatakan bahwa transaksi dan peristiwa yang tidak memiliki dampak ekonomi yang signifikan dapat diatasi dengan cara yang paling tepat, apakah transaksi dan peristiwa tersebut sesuai dengan prinsip yang diterima umum atau tidak, dan tidak perlu diungkapkan. Materialitas berlaku sebagai petunjuk implisit bagi akuntan, dalam arti apa yang seharusnya diungkapkan dalam laporan keuangan, memungkinkan akuntan untuk memutuskan apa yang tidak penting atau apa yang tidak, menjadi masalah dalam pencatatan kos (biaya), keakuratan laporan keuangan, dan relevansinya bagi pengguna. Karena mengabaikan sejumlah nilai-baik kecil maupun besar- yang dianggap tidak meterial, prinsip ini bertentangan dengantujuan utama laporan keuangan akuntansi syariah, yakni bahwa zakat harus dihitung berdasakan nilai yang sesungghnya.

Ruang Lingkup Kerangka Konseptual Akuntansi Syariah
Kerangka konseptual menjadi pedoman utama bagi pengembangan akuntansi. Kerangka konseptual akuntansi adalah sistem koheren yang berhubungan dengan tujua-tujua (objectives) dan konsep-konsep (fundamentals) yang mendasari akuntansi yang diharapkan bisa menurunkan standar-standar yang konsisten dalam mwenggambarkan sifat, fungsi, dan keterbatasan akuntansi . Konsep-konsep yaitu pedoman dalam menyeleksi sebagai transaksi dam kejadian, keharusan memperhitungkan, pengakuan, pengukuran, serta pengikhtisaran dam pengkomunikasiannya pada pihak-pihak yang berkepentingan. Fundamental adalah konsep-konsep yang mendasari akuntansi dan pelaporannya . Untuk lebih memahami posisi unsur-unsur tersebut dalam kerangka konseptual akuntansi, dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:















Gambar 4.2: Kerangka Konseptual Akuntansi

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa pada level pertama, objectives (tujuan) mengindentifikasi maksud dan sasaran akuntansi. Level kedua, fundamental meliputi karakteristik kualitatif informasi akuntansi dan definisi elemen-elemen laporan keuangan. Level ketiga adalah petunjuk operasional yang digunakan akuntan dalam menetapkan dan menerapkan standar akuntansi meliputi kriteria pengakuan, laporan keuangan versusu pelaporan keuangan dan pengukuran. Level keempat, mekanisme penyajian yang digunakan akuntansi untuk menyampaikan akuntansi yang meliputi pelaporan earnings (laba maupun hasil), pelaporan dana dan likuiditas, dan pelaporan posisi keuangan.
Berdasarkan gambar di atas, pembahasan laba harus didahului oleh pembahasan konsep: tujuan laporan laba; elemen-elemen laporan laba; karakteristik kualitatif informasi keuangan-dalam hal ini adalah laporan laba-; serta pengakuan dan pengukuran elemen-elemen tersebut. Laporan keuangan (financial statement) dibedakan dengan pelaporan keuangan (financial reporting). Laporan keuangan adalah informasi keuangan yang disusun dan disiapkan oleh manajemen, terdiri dari neraca,laporan laba rugi, laba komprehensif, laporan arus kas, laporan investasi dan distribusinya dari dan kepada para pemilik; yang kesemua bentuk laporan itu diosebut full-set laporan keuangan formal. Pelaporan keuangan adalah pengkomunikasian informasi keuangan yang tidak terbatas pada full-set laporan keuangan formal saja, tetapi termasuk juga informasi keuangan lainnya-misalnya: prediksi dan ekspetasi keuangan yang diharapkan oleh manajemen pada masa yang akan datang-; release berita keuangan terbaru; dan sumber-sumber aktiva, kewajiban, pendapatan, serta timbulnya biaya atau beban perusahaan-dan informasi nonkeuangan-misalnya: informasi mengenai dampak terhadap lingkungan sosial (sosial environment) dari operasi perusahaan.
1. Tujuan pelaporan laba
Merujuk pada tujuan laporan keuangan akuntansi syariah, maka tujuan pelaporan laba yaitu untuk memenuhi pertanggunganjawaban dan informasi, dan diderivasikan pada penentuan zakat. Dalam fikih Islam, laba wajib dikenai zakat jika telah satu tahun dan memenuhi nisab .

2. Karakteristik kualitatif laporan keuangan
Kerangka konseptual karakteristik kualitatif informasi akuntansi ini berhubungan dengan ciri spesifik dari kualitas informasi akuntansi yang harus dipenuhi agar memenuhi tujuan kegunaannya sebagai pertanggungjawaban dan informasi. Secara umum, laporan keuangan akuntansi syariah harus bisa menunjujkan ciri ketakwaan dan keimanan. Ciri tersebut diantaranya: dapat dipahami, tepat waktu, keandalan, penyajian yang jujur, daya banding, dan kelengkapan. Berikut ini akan dibahas masing-masing karakter:
a. Dapat dipahami (understandability), adalah yang dapat membantu atau memberi kesempatan kepada para pemakai informasi untuk memahami maknanya;
b. Tepat waktu (timely), adalah informasi yang siap digunakan oleh pemakainya, sebelum kehilangan makna dan kapasitasnya;
c. Keandalan (reliability), adalah kualitasinformasi yang menjamin bahwa informasinya bebas dari kesalahan dan penyimpangan (error dan bias) serta telah dinilai dan disajikan secara layak sesuai dengan tujuannua;
d. Penyajian yang jujur (representation faithfulness), adalah kesesuaian antara pengukuran akuntansi dengan fenomenanya, yang menentukan bahwa pokok persoalannya harus terwakili untuk menjamin keabsahan dan kebenaran informasinya;
e. Daya banding (comparability), adalah kualitas informasi yang bermanfaat bagi para pemakainya untuk mengindentifikasi informasi yang berbeda atau sejenis di antara dua kesatuan antitas ekonomi;
f. Kelengkapan (completeness) adalah, informasi yang disajikan tyermasuk semua informasi yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan laporan keuangan.