Selasa, 04 November 2008

Bagi Hasil

BAGI HASIL DALAM BANK ISLAM
Oleh : Agus Arwani, SE, M.Ag.
STAIN Pekalongan
MA KH. Syafi'i


PENDAHULUAN
Perbankan syari’ah di Indonesia telah mengalami perkembangan dengan pesat, masyarakat mulai mengenal dengan apa yang di sebut Bank Syari’ah. Dengan di awali berdirinya pada tahun 1992 oleh bank yang di beri nama dengan Bank Mu’amalat Indonesia (BMI), sebagai pelopor berdirinya perbankan yang berlandaskan sistem syari’ah, kini bank syari’ah yang tadinya diragukan akan sistem operasionalnya, telah menunjukkan angka kemajuan yang sangat mempesonakan.
Bank syaria’h mulai digagas di Indonesia pada awal periode 1980-an, di awali dengan pengujian pada skala bank yang relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman, Bandung. Dan di Jakarta didirikan dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.[1]Berangkat dari sini, Majlis Ulama’ Indonesia (MUI) berinisiatif untuk memprakarsai terbentuknya bank syari’ah, yang dihasilkan dari rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, dan di bahas lebih lanjut dengan serta membentuk tim kelompok kerja pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.[2]
Awal berdirinya bank Islam, banyak pengamat perbankan yang meragukan akan eksistensi bank Islam nantinya. Di tengah-tengah bank konvensional, yang berbasis dengan sistem bunga, yang sedang menanjak dan menjadi pilar ekonomi Indonesia, bank Islam mencoba memberikan jawaban atas keraguan yang banyak timbul. Jawaban itu mulai menemukan titik jelas pada tahun 1997, di mana Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup memprihatinkan, yang dimulai dengan krisis moneter yang berakibat sangat signifikan atas terpuruknya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang mencapai rata-rata 7% per tahun itu tiba-tiba anjlok secara spektakuler menjadi minus 15% di tahun 1998, atau terjun sebesar 22%. Inflasi yang terjadi sebesar 78%, jumlah PHK meningkat, penurunan daya beli dan kebangkrutan sebagian besar konglomerat dan dunia usaha telah mewarnai krisis tersebut.[3]Indonesia telah berada pada ambang kehancuran ekonomi, hampir semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Sektor konstruksi merupakan sektor yang mengalami pertumbuhan negatif paling besar, yaitu minus 40% karena di akibatkan tingkat bunga yang sangat tinggi, penurunan daya beli, dan beban hutang yang sangat besar. Sektor perdagangan dan jasa mengalami kontraksi minus 21%, sektor industri manufaktur menurun sebesar 19%. Semua berakibat dari implikasi krisis moneter yang mengguncang Indonesia.[4]
Kondisi terparah ditunjukkan oleh sektor perbankan, yang merupakan penyumbang dari krisis moneter di Indonesia. Banyak bank-bank konvensional yang tidak mampu membayar tingkat suku bunga, hal ini berakibat atas terjadinya kredit macet. Dan non-performing loan perbankan Indonesia telah mencapai 70%.[5] Akibat dari hal tersebut, dari bulan juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999, pemerintah telah menutup sebanyak 55 bank, di samping mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya di bantu untuk melakukan rekapitalisasi. Sedangkan bank BUMN dan BPD harus ikut direkapitalisasi.
Dari 240 bank yang ada sebelum krisis moneter, hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah dan dinyatakan sehat, sisanya pemerintah dengan terpaksa harus melikuidasinya.[6]
Salah satu dari 73 bank tersebut, terdapat Bank Mu’amalat Indonesia yang mampu bertahan dari terpaan krisis ekonomi, yang nyata memiliki sistem tersendiri dari bank-bank lain, yaitu dengan memberlakukan sistem operasional bank dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syari’ah sangat berbeda dengan sistem bunga, di mana dengan sistem bunga dapat ditentukan keuntungannya diawal, yaitu dengan menghitung jumlah beban bunga dari dana yang di simpan atau dipinjamkan. Sedang pada sistem bagi hasil ketentuan keuntungan akan ditentukan berdasarkan besar kecilnya keuntungan dari hasil usaha, atas modal yang telah diberikan hak pengelolaan kepada nasabah mitra bank sayari’ah.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang sistem bagi hasil pada perbankan syari’ah, penulis akan mencoba menguraikan bagaimana sistem tersebut diberlakukan.

















PEMBAHASAN

A. Pengertian
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah terdiri dari dua sistem, yaitu:
a. Profit Sharing
b. Revenue Sharing

1. Pengertian Profit Sharing
Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba.[7] Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost).[8]
Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.[9] Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.
Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama[10] sesuai porsi masing-masing.
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah dilakukannya.
Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance.[11] Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue.

2. Pengertian Revenue Sharing
Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti bagi atau bagian.[12] Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan.
Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue).[13]
Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut.[14]
Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan.[15]
Berdasarkan devinisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit).
Berbeda dengan revenue di dalam arti perbankan. Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank.[16]
Revenue pada perbankan Syari'ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank.[17]
Perbankan Syari'ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.[18]
Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.[19] Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.[20]

B. Jenis-jenis Akad Bagi Hasil
Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah secara umum dapat dilakukan dalam empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah dan Musaqah. Namun, pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, pada umumnya bank syariah menggunakan kontrak kerjasama pada akad Musyarakah dan Mudharabah.
a. Musyarakah (Joint Venture Profit & Loss Sharing)
Adalah mencampurkan salah satu dari macam harta dengan harta lainnya sehingga tidak dapat dibedakan di antara keduanya.[21] Dalam pengertian lain musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[22]
Penerapan yang dilakukan Bank Syariah, musyarakah adalah suatu kerjasama antara bank dan nasabah dan bank setuju untuk membiayai usaha atau proyek secara bersama-sama dengan nasabah sebagai inisiator proyek dengan suatu jumlah berdasarkan prosentase tertentu dari jumlah total biaya proyek dengan dasar pembagian keuntungan dari hasil yang diperoleh dari usaha atau proyek tersebut berdasarkan prosentase bagi-hasil yang telah ditetapkan terlebih dahulu.[23]
b. Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Adalah suatu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal.[24]
Kontrak mudharabah dalam pelaksanaannya pada Bank Syariah nasabah bertindak sebagai mudharib yang mendapat pembiayaan usaha atas modal kontrak mudharabah. Mudharib menerima dukungan dana dari bank, yang dengan dana tersebut mudharib dapat mulai menjalankan usaha dengan membelanjakan dalam bentuk barang dagangan untuk dijual kepada pembeli, dengan tujuan agar memperoleh keuntungan (profit).[25]
Adapun bentuk-bentuk mudharabah yang dilakukan dalam perbankan syariah dari penghimpunan dan penyaluran dana adalah:
1. Tabungan Mudharabah. Yaitu, simpanan pihak ketiga yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian.[26]
2. Deposito Mudharabah. Yaitu, merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga (perseorangan atau badan hukum) yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu (jatuh tempo), dengan mendapat imbalan bagi hasil.[27]
3. Investai Mudharabah Antar Bank (IMA). Yaitu, sarana kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar peserta pasar uang antar Bank Syariah berdasarkan prinsip mudharabah di mana keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak (pembeli dan penjual sertifikat IMA) berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.[28]

C. Mekanisme Perhitungan Bagi Hasil
Belum adanya standar pola operasi yang dikeluarkan oleh otoritas moneter menjadikan bank-bank syariah yang pada saat ini sudah beroperasi melakukan adopsi atau menyusun pola operasi secara sendiri-sendiri. Ketidakseragaman pola operasi yang diterapkan yang pada akhirnya akan mempersulit otoritas moneter, pemilik dana serta bank yang bersangkutan melakukan kontrol serta mengukur tingkat kepatuhan dan keberhasilan dari usaha bank-bank tersebut. Berikut contoh cara menghitung bagi hasil pada bank syari’ah :
1. Menghitung saldo rata-rata dari sumber dana bank yang berdasar data dari hasil perhitungan di atas.
§ Giro Wadiah : Rp. 60.000
§ Tabungan Mudharabah : Rp. 150.000
§ Deposito Mudharabah 1 bulan : Rp. 50.000
§ Deposito Mudharabah 3 bulan : Rp. 40.000
§ Deposito Mudharabah 6 bulan : Rp. 175.000
§ Deposito Mudharabah 12 bulan : Rp. 75.000
Total Sumber Dana : Rp. 550.000
2. Menghitung rata-rata pelemparan dana yang dilakukan oleh bank dalam sebulan, kemudian menghitung jumlah total pelemparan dana baik dalam bentuk pembiayaan bagi hasil, jual beli maupun SBPU.
Jumlah posisi rata-rata pelemparan dana dari hasil perhitungan diatas adalah :
§ Pembiayaan : Rp. 480.000
§ SBPU : Rp. 100.000
3. Menghitung jumlah pendapatan yang akan dibagikan kepada nasabah, dengan menghitung jumlah dari :
§ Pendapatan Pembiayaan : Rp. 8.000
§ Pendapatan SBPU : Rp. 2.000
Dalam menghitung jumlah pendapatan yang akan dibagikan kepada nasabah dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Membandingkan antara Total Aktiva Produktif dengan Total Dana Pihak III, dalam hal ini Total Aktiva Produktif > Total Dana Pihak III. Total dana Pihak III Rp. 550.000 semua digunakan sebagai sumber dana aktiva produktif. Dengan rincian Rp. 480.000 dialokasikan kedalam pembiayaan dan Rp. 70.000 kedalam SBPU
b. Menghitung porsi pendapatan yang dibagikan dari masing-masing jenis aktiva produktif berdasarkan alokasi sumber dana diatas.
Pembiayaan : (480.000/480.000) x 8.000 = 8.000
SBPU : (70.000/100.000) x 2.000 = 1.400 +
Jumlah total pendapatan di bagikan 9.400
4. Perhitungan bagi hasil nasabah
a. Menghitung jumlah pendapatan dibagikan untuk masing-masing dana
§ Tabungan : (150.000/550.000) x 9.400 = 2.564
§ Deposito 1 bulan : (50.000/550.000) x 9.400 = 855
§ Deposito 3 bulan : (40.000/550.000) x 9.400 = 684
§ Deposito 6 bulan : (175.000/550.000) x 9.400 = 2.991
§ Deposito 12 bulan : (75.000/550.000) x 9.400 = 1.282

b. Menghitung pendapatan bagi hasil yang akan dibayarkan kepada masing-masing jenis dana sesuai dengan kesepakatan nisbah
§ Tabungan : 45/100 x 2.564 = 1.154
§ Deposito 1 bulan : 65/100 x 855 = 556
§ Deposito 3 bulan : 66/100 x 684 = 451
§ Deposito 6 bulan : 66/100 x 2.991 = 1.974
§ Deposito 12 bulan : 67/100 x 1.282 = 859
c. Menghitung ekuivalen rate untuk masing-masing jenis sumber dana untuk jangka waktu 31 hari
§ Tabungan : (1.154/150.000) x 365/31 x 100% = 9.06%
§ Deposito 1 bulan : (556/50.000) x 365/31 x 100% = 13.09%
§ Deposito 3 bulan : (451/40.000) x 365/31 x 100% = 13.28%
§ Deposito 6 bulan : (1.974/175.000) x 365/31 x 100% = 13.28%
§ Deposito 12 bulan : (859/75.000) x 36/31 x 100% = 13.49%
Pada umumnya bank-bank syariah di Indonesia dalam perhitungan bagi hasilnya menggunakan sistem bobot pada setiap dana investasi, dengan mengalikan prosentase bobot tersebut dengan saldo rata-rata. Semakin labil investasi tersebut semakin kecil bobot yang dikenakan, dan semakin stabil investasi maka semakin besar bobot yang dikenakan pada investasi tersebut, hal ini diterapkan sebagai bentuk dari pengamanan risiko pada setiap dana invesatasi. Bobot akan mempengaruhi besarnya bagi hasil yang akan didistribusikan sehingga akan berdampak pada bagi hasil yang akan diterima oleh pemilik dana.[29]Hal ini dapat dilihat dari contoh perhitungan sistem revenue sharing yang menggunakan bobot pada tabel diatas.




KESIMPULAN
Sistem bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah terbagi kepada dua sistem, yaitu; pertama. Profit Sharing yaitu sistem bagi hasil yang didasarkan pada hasil bersih dari pendapatan yang diterima atas kerjasama usaha, setelah dilakukan pengurangan-pengurangan atas beban biaya selama proses usaha tersebut. Kedua. Revenue Sharing adalah sistem bagi hasil yang didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.Di dalam perbankan syari’ah Indonesia sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah sistem bagi hasil dengan berlandaskan pada sistem revenue sharing. Bank syari’ah dapat berperan sebagai pengelola maupun sebagai pemilik dana, ketika bank berperan sebagai pengelola maka biaya tersebut akan ditanggung oleh bank, begitu pula sebaliknya jika bank berperan sebagai pemilik dana akan membebankan biaya tersebut pada pihak nasabah pengelola dana.
[1] Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah; Wacana Ulama’ dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 1999). h. 278
[2] ibid
[3] Zainul Arifin. Memahami Bank Syari’ah; Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, (Jakarta: Alvabet, 2000). Cet. 3. h. v
[4] ibid. h. vi
[5] ibid
[6] ibid. h. vii
[7] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002) h. 101

[8] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1994)Edisi ke-2 , h. 534

[9] Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah, (Jakarta : Djambatan, 2001), h. 264

[10] Murasa Sarkaniputra, Direktur Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Surat Tanggapan atas surat MUI, Jakarta, 29 April 2003. h. 3
[11] Syamsul Falah, Pola Bagi Hasil pada Perbankan Syari’ah, Makalah disampaikan pada seminar ekonomi Islam, Jakarta, 20 Agustus 2003

[12] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia, 1995), Cet. ke-21

[13] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1994), Edisi ke-2, h. 583

[14] Murasa Sarkaniputra (Direktur Pusat Pengkajian dan Pengambangan Ekonomi Islam), surat kepada Ketua Umum MUI, tentang fatwa MUI No.15/DSN-MUI/IX/2000, Tgl 18 Februari 2003

[15] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Op.cit., h. 473
[16] Akmal Yahya, Profit Distribution. http//www.ifibank.go.id
[17] Ibid

[18] Dewan Syari'ah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syari'ah, Ed. 1, Diterbitkan atas Kerjasama Dewan Syari'ah Nasional-MUI dengan Bank Indinesia, 2001, h. 87

[19] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Lok.Cit.

[20] Akmal Yahya, Lok.Cit
[21] Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh Alaa al Madzahibul Arba’ah, (Lebanon : Darul Fikri, 1994), Jilid 3, h. 63
[22] M. Syafei Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Institute dan BI, 1999) Cet. ke-I, h. 129

[23] Indra Jaya lubis, Tinjauan Mengenai Konsepsi Akuntansi Bank Syariah, Disampaikan pada Pelatihan – Praktek Akuntansi Bank Syariah BEMJ-Ekonomi Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001. h. 18

[24] Abdurrahman al Jaziri, Op. Cit. h. 34
[25] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga; Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Cet. ke-1. h. 100

[26] Abdul Azis, et al.,(ed.) Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 1198

[27] Ibid.
[28] Akmal Yahya, Profit Distribution, http//www.ifibank.go.id

[29] Akmal Yahya,

Tidak ada komentar: