Jumat, 07 November 2008

Prinsip Transparansi Musyarakah

PRINSIP TRANSPARANSI DALAM PEMBIAYAAN MUSYÂRAKAH

A. Latar Belakang
Dalam perbankan syariah corporate governance[1] sedikit berbeda dengan corporate governance dalam bank konvensional karena bank syariah mempunyai kewajiban untuk menaati seperangkat peraturan yang berbeda yaitu hukum syariah.
Corporate governance merupakan cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya. Pengambilan keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholder. Fokus utama di sini terkait dengan pengambilan keputusan perusahaan yang mengandung nilai-nilai Transparency, Responsibility, Accountability, Fairness, dan Independency.[2]
Transparansi sebagai salah satu prinsip Good Corporate Governance[3] (selanjutnya disingkat menjadi GCG) sangat penting digunakan dalam suatu perusahaan. Hal ini terkait dengan adanya isu tentang kekhawatiran perusahaan yang terlalu terbuka dalam menyampaikan informasinya, maka ditakutkan segala strategi akan diketahui pesaing sehingga sangat membahayakan kelangsungan usahanya.
Dalam mewujudkan transparansi, sebuah perusahaan harus menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan. Contohnya dalam laporan keuangan yang wajib diungkapkan secara objektif dan mudah dimengerti. Selain laporan keuangan disarankan perusahaan juga mengungkapkan informasi non-finansial yang diperlukan bagi semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk mengambil berbagai keputusan.[4] Para stakeholder[5] dapat mengetahui risiko yang kemungkinan bisa terjadi dalam melakukan transaksi dengan perusahaan. Sehingga dapat membawa manfaat yang besar bagi semua pihak.
Munculnya lembaga keuangan yang berprinsip syariah menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat untuk menjawab segala permasalahan yang dihadapi. Islam sebagai agama yang telah sempurna tentunya sudah memberikan rambu-rambu dalam melakukan transaksi, istilah al-tija>rah, al-bai‘, dan lain - lain yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai pertanda bahwa Islam memiliki perhatian yang serius dalam dunia usaha atau perdagangan. Dalam menjalankan usaha dagangnya tersebut tetap harus berada dalam rambu-rambu syariah. Secara umum, Islam menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum dalam bisnis yang penerapannya disesuaikan dengan perkembangan zaman serta mempertimbangkan ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut adalah tauhid, khilafah, ibadah, tazkiyah dan ihsan. Dari nilai dasar inilah dapat diangkat ke prinsip umum tentang keadilan, kejujuran, keterbukaan, kebersamaan, kebebasan, tanggung jawab dan akuntabilitas. Rasulullah saw telah memberikan contoh yang dapat diteladani dalam berbisnis, misalnya: Transparansi adalah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang, baik harta, ilmu pengetahuan, dan hal-hal yang bersifat rahasia yang wajib dipelihara atau disampaikan kepada yang berhak menerima, harus disampaikan apa adanya tidak boleh dikurangi maupun ditambah. Orang yang jujur adalah orang yang mengatakan sebenarnya, walaupun terasa pahit untuk disampaikan.[6]
Sifat jujur atau dapat dipercaya merupakan sifat terpuji yang disenangi Allah, walaupun disadari sulit menemukan orang yang dapat dipercaya. Kejujuran adalah sesuatu yang mahal. Lawan dari kejujuran adalah penipuan.[7] Dalam dunia bisnis pada umumnya kadang sulit sekali untuk mendapatkan kejujuran. Oleh karena itu kejujuran sangat penting dalam melakukan berbagai kegiatan dalam kehidupan untuk memperoleh hasil yang maksimal. Prinsip transparansi tidak hanya untuk melindungi pemegang saham minoritas akan tetapi juga bagaimana perusahaan dioperasikan dan bisnis dijalankan sehingga dapat berinteraksi dengan masyarakat luas.
Prinsip transparansi ini sangat dibutuhkan dan harus dilaksanakan oleh perbankan syariah dalam setiap operasionalnya agar tidak terjadi kesalahpahaman antara nasabah dengan pihak bank. Di Indonesia terdapat berbagai macam Lembaga Keuangan Syariah, salah satunya adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syariah Cabang Yogyakarta yang memiliki kegiatan bermacam-macam, salah satunya adalah pembiayaan musya>rakah.[8] Dalam pembiayaan musya>rakah ini, keuntungan usaha yang diperoleh dibagi menurut kesepakatan dalam kontrak, apabila terjadi kerugian ditanggung bersama.
Penyaluran dana yang dilakukan dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah maksudnya adalah penyediaan uang/tagihan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan kesepakatan antara pihak bank dan nasabah yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan bagi hasil.
Musyârakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dengan ketentuan nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek tersebut selesai, maka nasabah akan mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati. Prinsip bagi hasil dalam Musyârakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap. bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.[9]
Transparansi dalam perbankan dapat dilihat dari pembagian keuntungan yang diperoleh nasabah langsung dan dilaporkan kepada pihak bank. Laporan keuangan dapat dibuat secara berkala. Setiap penyaluran dana kepada nasabah ditindaklanjuti dengan pembinaan nasabah yang bersangkutan.
Adapun yang menjadi permasalahan adalah adanya ketidakjujuran dalam pembagian pendapatan antara pihak bank dan nasabah. Hal ini terjadi karena biasanya pihak bank telah percaya penuh untuk memberikan dananya kepada nasabah. Dana yang telah diberikan tersebut digunakan untuk modal usaha. Dalam melaksanakan kegiatan usaha, nasabah harus melaksanakan prinsip transparansi. Jika tidak menerapkan prinsip tersebut dalam pendapatan yang diterimanya, maka akan menyalahi amanah (kepercayaan) yang telah diberikan oleh pihak bank. Padahal amanah merupakan salah satu prinsip utama yang menjadi ciri khas seseorang yang menjadi pelaku ekonomi syariah.[10] Kejujuran berkaitan dengan etika bisnis Islam yang menjadi bagian dari aktivitas manusia, landasannya merupakan hasil pemahaman dari Al-Qur’an dan pada hakikatnya usaha manusia untuk mencari keridloan Allah.[11]
Sikap keberanian dan konsistensi sangat diperlukan agar etika bisnis dapat berjalan dengan baik. Sikap keberanian yang sesungguhnya telah dipunyai oleh sifat dasar manusia yaitu kebebasan berkehendak dan pertanggungjawaban.[12] Etika didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dan yang buruk. Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normatif karena berperan dalam menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak oleh seseorang. [13]
a. Oleh karena itu, penyusun merasa tertarik untuk meneliti tentang pelaksanaan prinsip transparansi dalam pembiayaan Musyârakah di bank syariah. Pentingnya dalam meneliti transparansi karena ditemukan adanya indikasi ketidakjujuran dalam pembagian pendapatan antara nasabah dan bank yang tidak menerapkan prinsip transparansi dalam pendapatannya.

B. Telaah Pustaka
Dalam telaah pustaka ini penyusun akan mendeskripsikan dan menelaah buku-buku yang terdapat relevansinya dengan objek pembahasan. Pembahasan tersebut tercantum dalam buku, makalah, skripsi, media massa maupun artikel di internet. Karya-karya tersebut lebih mengacu pada salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG) yaitu transparansi yang diterapkan dalam pelaksanaan pembiayaan musya>rakah.
Belum ada sebuah buku atau karya yang secara khusus mengupas tentang tinjauan hukum Islam terhadap prinsip transparansi dalam pembiayaan musya>rakah di Bank Syariah. Oleh karena itu, di dalam telaah pustaka ini penyusun coba untuk menyampaikan sesuatu yang baru.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia menjelaskan tentang cara kerja bank syariah secara rinci, sehingga pembaca akan mampu memahami dengan baik pola kerja bank syariah. Adanya uraian pemahaman konsep produk dan kegiatan operasional bank Islam[14] yang berbeda dengan buku-buku yang sejenis yang pernah terbit sebelumnya, yang ditulis oleh mereka yang berpengalaman dalam bidang operasional di bank syariah, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi yang ingin melakukan kegiatan bank syariah.
Abdullah Saeed dalam karyanya Bank Islam dan Bunga Studi Krisis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga mengkaji bahwa penggunaan Profit and Loss Sharing pada bank-bank Islam yang mentransformasikannya ke dalam prinsip Mud{arabah dan Musya>rakah, yang ternyata dalam prakteknya mirip dengan jenis pembiayaan yang hasilnya ditentukan terlebih dahulu, mengenai garansi menurut mazhab hukum sunni dalam pembiayaan khususnya musya>rakah tidak dapat diberikan karena didasarkan pada unsur kepercayaan.[15]
Penelitian dari Atiek Rahmawati yang berjudul ”Perbandingan Kepuasan Nasabah Produk Pembiayaan Mura>bahah dan Musya>rakah. Pada penelitian ini membahas faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kepuasan nasabah dalam produk pembiayaan serta produk mana yang lebih tinggi kepuasannya terhadap atribut BMT mengenai pelayanan, bagi hasil/keuntungan, dan produk.[16]
Aniatun Mudrikah membahas tentang akad pelaksanaan musya>rakah di BMT. Mengenai pelaksanaan akad pembiayaan antara BMT dengan nasabah. Tentang bagaimana dan apakah penerapan prinsip kemanfaatan pada pelaksanaan pembiayaan musya>rakah yang sesuai dengan ketentuan syariah.[17] Skripsi ini hanya membahas tentang pelaksanaan pembiayaan musya>rakah tidak sedikitpun menyinggung tentang prinsip transparansi.
Nuril Mala dalam penelitian yang pernah ditemukan diantaranya mengenai pelaksanaan pembiayaan musya>rakah di BMT BIF Gedong Kuning yang meliputi akad, bagi hasil dan pertanggungjawaban kerugian serta tinjauan hukum Islam terhadap pembiayaan tersebut. [18] Skripsi ini membahas secara detail mengenai akad dan pembagian keuntungan.
Hary Suwandi dalam skripsinya membahas tentang adanya prinsip–prinsip GCG yang salah satunya disebutkan prinsip transparansi (keterbukaan atau kejujuran) adanya hak–hak pemegang saham, yang harus diberi informasi dengan benar dan tepat pada waktunya mengenai perusahaan, dapat ikut dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan–perubahan yang mendasar atas perusahaan, dan juga mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan.[19] Skripsi ini lebih terfokus pada pelaksanaan prinsip–prinsip GCG secara umum dilihat dari kacamata hukum Islam.
Dari karya–karya di atas menunjukkan bahwa tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan prinsip transparansi dalam pembiayaan musya>rakah di Bank Syariah, faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan prinsip transparansi tersebut belum ada yang membahasnya. Untuk itu penelitian yang dilakukan ini sangat difokuskan.

C. Kerangka Teoretik
Berdasarkan etika bisnis yang baik dalam melakukan segala aktivitas, maka sebuah perusahaan akan mempunyai sumber daya manusia yang berkualitas, yang memiliki kesehatan moral dan mental, mempunyai semangat dalam meningkatkan kualitas amal (kerja) di berbagai aspek, memiliki motivasi mampu beradaptasi dan memiliki kreativitas tinggi, pantang menyerah, kemampuan berkomunikasi. Jika akal sudah dikendalikan oleh iman, maka dapat membuat seseorang dalam berbisnis tetap berpedoman pada standar etika yang diyakini.
Tujuan syariah harus dapat menentukan perilaku konsumen dalam Islam. Tujuan syariah Islam adalah tercapainya kesejahteraan umat manusia (masla>h}at al-‘ibad). Oleh karena itu, semua barang dan jasa yang memiliki masla>h{ah[20] akan dikatakan sebagai kebutuhan manusia. Kemashlahatan dibagi dalam tiga kategori: d{aru>riyyat, h{a>jiyyat, tah{siniyyat.[21] Apabila ketiga kategori tersebut terpenuhi, berarti telah ada bukti nyata bahwa kemaslahatan mereka adalah seorang ahli hukum yang muslim.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, hukum muamalat memiliki beberapa prinsip umum yang dapat dirumuskan sebagai berikut:[22]
1. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh Al-Qur’an dan sunnah Rasul.
2. Muamalat dilakukan atas dasar suka rela tanpa mengandung unsur paksaan. Terdapat sebuah ayat yang menjelaskan tentang prinsip kerelaan dan keridaan para pelaku pasar melakukan transaksi. Allah berfirman:
يأيها الذين أمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلاّ أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما. [23]

3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghilangkan madarat dalam kehidupan masyarakat. Hal ini memberikan akibat bagi semua bentuk muamalat yang merusak kehidupan masyarakat tidak dibenarkan.
4. Muamalat harus dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan menghindarkan unsur-unsur penganiayaan dan unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.

Prinsip ini merupakan hal yang menjadi ketentuan dalam berlangsungnya kegiatan muamalat, yang mendasarkan pada terlaksananya kemaslahatan umum dengan menghindarkan diri dari ke madarat.


Adanya Transparansi (kejujuran) ditujukan bukan hanya untuk orang lain tetapi juga untuk diri kita sendiri. Agar semua kegiatan yang dilakukan terhindar dari benturan kepentingan dari berbagai pihak.
يأيها الذين أمنوا اتقوا الله وكونوا مع الصادقين[24]

Orang yang telah menjalankan salah satu prinsip (amanah) yang menjadi ciri khas seorang pelaku ekonomi adalah orang-orang yang beruntung.
والذين هم لأماناتهم وعهدهم راعون[25]

Ayat ini menerangkan bahwasanya agar manusia menjaga amanah yang dibawanya dan memikul janji-janjinya.
Akhlak yang seharusnya menghiasi bisnis syariah dalam setiap gerak-geriknya adalah kejujuran.[26] Sifat jujur kadang-kadang dianggap mudah untuk dilaksanakan bagi orang awam apabila belum dihadapkan dengan ujian yang berat. Islam menjelaskan bahwasanya kejujuran yang hakiki terletak pada kegiatan bermuamalah.[27]demikian pentingnya kejujuran dalam berbisnis sehingga segala bentuk kecurangan dapat dihindari.
Islam adalah agama yang menganjurkan umatnya untuk melakukan kerjasama yang terorganisir dengan baik. Dalam konteks ini khususnya berdasarkan dengan prinsip syirkah dimana suatu kerjasama dua orang yang keduanya menyediakan modal atau keahlian yang dibutuhkan dalam berusaha.[28] Keuntungan yang didapat dari usaha dibagi dua berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah disepakati kemudian jika terjadi kerugian juga dipikul bersama.
... فهم شركآء فى الثلث...[29]

وإن كثيرا من الخلطآء ليبغى بعضهم على بعض إلا الذين أمنوا وعملوا الصالحات.[30]

D. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Bank Syariah. Metode penelitian yang digunakan adalah:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang datanya diambil dari variable–variable yang ada di lapangan (kondisi setempat). Penyusun akan menggambarkan fenomena yang lebih jelas mengenai pelaksanaan prinsip yang diterapkan dalam pembiayaan Musyârakah dalam bank syariah ditinjau dari hukum Islam.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian preskiptik yaitu untuk menilai permasalahan yang menjadi obyek penelitian dalam pelaksanaan prinsip transparansi dalam pembiayaan khususnya Musyârakah kemudian menganalisisnya dengan pendekatan teori yang relevan sesuai hukum Islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara (Interview) adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung maupun tidak langsung kepada responden berdasarkan pedoman yang telah disusun terlebih dahulu secara struktural. Wawancara ini diajukan pada pihak BRI Syari’ah Cabang Yogyakarta bagian Akuntan Lapangan yaitu Bp. Arief Wijaya dan bagian Pembiayaan yaitu Bp. Dian Samto Indrayana selaku pihak pertama dan nasabah BRI Syari’ah Cabang Yogyakarta yang berjumlah 10 orang selaku pihak kedua khususnya bagi yang mengambil pembiayaan musya>rakah.
b. Dokumentasi adalah mengumpulkan data yang didapatkan dari dokumen yang berupa formulir aplikasi, brosur, buku-buku yang terkait dengan penelitian ini, serta website BRI itu sendiri.
4. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan normatif adalah mendekati masalah dengan cara meneliti norma yang berlaku kemudian dilakukan analisis apakah masalah itu baik atau tidak berdasarkan norma yang berlaku dalam hukum Islam.


5. Analisis Data
Adapun analisis yang dipakai di sini adalah bersifat analisis kualitatif dengan metode berfikir deduktif, yaitu melakukan analisis dengan data yang bersifat umum mengenai akad dalam pembiayaan dan keterbukaannya dalam hukum Islam kemudian akan menghasilkan kesimpulan khusus tentang bentuk keterbukaan akad dalam pembiayaan musya>rakah dan pembagian keuntungan ditinjau dari hukum Islam.
[1] Corporate Governance adalah sebagai sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan, pemegang saham dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Lihat Hessel Nogi, Mengelola Kredit Berbasis Good Corporate Governance, (Yogyakatra: Balairung, 2003), hlm. 12.

[2] Transparency (keterbukaan informasi), Responsibility (tanggung jawab), Accountability (kejelaan fungsi), Fairness (kesetaraan atau kewajaran), Independency (kemandirian). Lihat Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia, (Jakarta: PT.Triexs Trimacindo, 2005), hlm. 9-12.

[3] Good Corporate Governance didefinisikan sebagai suatu pola hubungan , sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan pemegang saham berlandaskan peraturan perundang–undangan dan norma yang berlaku. Ibid., hlm. 8.

[4] Siswanto Sutojo dan E John Aldidge, Good Corporate Governance-Tata Kelola Perusahaan yang Sehat, cet. I (Jakarta: PT.Damar Mulia Pustaka, 2005), hlm. 27.

[5] Stakeholder adalah kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi aktivitas perusahaan. Ibid., hlm. 200.
[6] Marpuji Ali, Etika Bisnis dalam Islam ,http://www.indomedia.com, akses tanggal 22 mei 2007.

[7] Albert Hendra Wijaya, Kejujuran, http://www.siutao.com, akses tanggal 22 mei 2007

[8] Musya>rakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi suatu dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, cet I (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 90.

[9] Ibid., hlm. 94.

[10] Sofiniyah Ghufron (penyunting), Briefcase Book Edukasi Profesional Syariah-Konsep dan Implementasi Bank Syariah, cet. I (Jakarta: Renaisans, 2005), hlm.13.

[11] R.Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Al-Qur’an, cet.I (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), hlm.173.

[12] Muhammad, Etika Bisnis Islam, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2004), hlm. 61.

[13] Ibid, hlm. 38.
[14] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institute Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi operasional Bank Syariah, cet. II (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 55.

[15] Abdullah Saeed, bank Islam dan Bunga Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga, cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 110.

[16] Atiek Rahmawati, Perbandingan Tingkat kepuasan Nasabah Produk Pembiayaan Mud{arabah dan Musya>rakah (Studi Kasus di BMT Jagamukti Amratani Muntilan), Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (2005), hlm. 2.

[17] Aniatun Mudrikah, Penerapan Prinsip Kemanfaatan pada Pelaksanaan Pembiayaan Musya>rakah di BMT Jogjatama Cabang Gowok Yogyakarta, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (2006), hlm. 5.

[18] Nuril Mala, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembiayaan Musya>rakah di BMT BIF Gedong Kuning Yogyakarta, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002).

[19] Hary Suwandi, Tinjauan Hukum Islam terhadap Good Cooperate Governance (GCG) dalam Bank Syariah (Studi Kasus di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syariah Cabang Yogyakarta),” skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (2007), hlm. 30.

[20] Maslahah adalah pemilikan atau kekuatan barang / jasa yang mengandung elemen – elemem dasar dan tujuan kehidupan umat manusia di dunia ini. Lihat Muhammad, Etika Bisnis Islami (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2004), hlm. 19.

[21] Darûriyat ialah sesuatu yang wajib adanya menjadi pokok kebutuhan hidup untuk menegakkan kemaslahatan manusia. Hal – hal yang bersifat darury bagi manusia dalam pengertian ini berpangkal pada memelihara lima hal, yaitu: agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta. Hâjiyyat yaitu: suatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan, lapang dan nyaman dalam menanggulangi kesulitan kehidupan. Tahsiniyyat yaitu, sesuatu yang diperlukan oleh normal atau tatanan hidup, serta berperilaku menuju jalan yang lurus. Lihat Muhammad, Etika Bisnis Islami (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2004), hlm. 20

[22] Ahmad Azhar Basyir, Asas–Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam) (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 16.

[23] An-Nisâ'(4): 29.

[24] At-Taubah (9): 119.

[25] Al-mu’minûn (23): 8.

[26] Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing,cet.I (Bandung: PT.Mizan Pustaka, 2006), hlm. 82.

[27] Ibid, hlm 82.

[28] Muhammad, Etika Bisnis Islam (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2004), hlm. 78.

[29] An-Nisâ'(4): 12.

[30] Sâd (38): 24.

Tidak ada komentar: