Jumat, 21 November 2008

BERKAH DALAM EKONOMI

BERKAH DALAM EKONOMI ISLAM
Dalam kamus bahasa Indonesia dikatakan, kata "berkah" berasal dari bahasa Arab. Akan tetapi, apakah pengertian kata "berkah" dalam bahasa Arab memiliki pengertian yang sama dengan kata "berkah" dalam bahasa Indonesia? Tulisan ini dilakukan untuk mengungkap makna kata "berkah" dalam bahasa Arab dan konsep Islam. Untuk itu, perlu diungkap terlebih dahulu pengertian kata "berkah" dalam bahasa Indonesia, sehingga dapat dipahami perbedaan pengertian kata itu dalam dua bahasa yang berbeda.
Poerwadarminta, penyusun Kamus Bahasa Indonesia, menulis bahwa kata "berkah" memiliki beberapa makna. Makna-makna itu adalah: a) Karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan kepada kehidupan manusia, misalnya dalam kalimat: Mudah-mudahan Tuhan melimpahkan berkatnya kepada kalian; b) Oleh karena dan akibat, misalnya: Berkat rajin usahanya, ia mendapat kekayaan sebanyak itu (karena rajin berusaha ia mendapat kekayaan sebanyak itu); c) Keberkatan, beruntung, dan bahagia, misalnya: Bagaimana perusahaan tuan? Berkat juga tuan (untung juga tuan); d) Makanan yang dibawa pulang sehabis berkenduri, misalnya: Ia pulang tiada membawa berkat; e) Memberkati, misalnya: Semoga pekerjaan kita ini diberkati Tuhan Yang Maha Esa, Pendeta itu berdoa untuk memberkati orang yang ada di sekitarnya, serta Barang curian tidak akan memberkati (tidak membawa kebaikan atau keselamatan); f) Restu atau pengaruh baik (menyebabkan selamat) yang didatangkan dengan perantaraan orang tua, orang suci dan sebagainya, misalnya: Ia selalu berdoa dan minta berkat kepada orang tuanya yang telah meninggal.
Dalam bahasa Arab, kata "berkah" berasal dari kata kerja madli (kata kerja yang merujuk kepada peristiwa yang terjadi pada masa lalu) baraka. Kata ini, menurut al-Asfahani, pakar bahasa al-Qur'an, dari segi bahasa, mengacu kepada arti al-luzum (kelaziman), dan juga berarti al-tsubut (ketetapan atau keberadaan), dan tsubut al-khayr al-ilahy (adanya kebaikan Tuhan). Senada dengan al-Asfahani, Lewis Ma'luf, juga mengartikan kata baraka dengan arti " menetap pada sesuatu tempat". Dari arti ini, muncul istilah birkah, yaitu tempat air pada kamar mandi. Tempat air tersebut dinamakan birkah karena ia menampung air, sehingga air dapat menetap atau tertampung di dalamnya.
Di dalam al-Qur'an, kata baraka dengan berbagai kata jadiannya muncul sebanyak 31 kali. Dari 31 kali itu, semua kata baraka dapat dikatakan mengacu kepada arti tsubut al-khayr al-ilahy. Walaupun terjadi perkembangan arti, sesuai dengan konteks kalimatnya, kata baraka tetap tidak jauh dari makna tersebut. Setelah muncul dalam struktur kata yang berbeda dan dalam konteks kalimat yang berbeda pula, diantara kata ada yang merujuk kepada sifat-sifat Tuhan, misalnya kata tabaraka Allah. Dalam konteks seperti ini, kata baraka berarti Maha Suci. Ungkapan ini dapat ditemukan, antara lain, dalam surat al-A'raf ayat 54, al-Mu'minun ayat 14, al-Furqan ayat 10 dan 61, Ghafir ayat 64, al-Zukhruf ayat 85 dan al-Mulk ayat 1. Diantara ayat yang mengandung kata baraka dalam makna ini dapat dikutip terjemahnya sebagai berikut: "Mahasuci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS al-Mulk ayat 1).
Kata tabaraka dalam ayat di atas diterjemahkan dengan makna Mahasuci, sama dengan makna kata tasbih (mensucikan). Mensucikan Allah berarti mensucikan-Nya dari sifat yang tidak layak untuk dimiliki Allah, misalnya menganggap ada lagi tuhan selain Allah, atau yang dikenal dengan istilah al-syirku. Dengan kata lain, kata tasbih berarti Mahasuci. Kata tabaraka dalam ayat 54 surat al-A'raf juga berbicara mengenai sifat Allah. Dalam ayat itu, Allah menjelaskan bahwa Tuhan ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Dia bersemayam di atas 'arasy. Dia mengganti malam dengan siang dengan pergantian yang cepat. Dia menciptakan matahari, bulan, dan bintang-bintang, masing-masing tunduk kepada perintah-Nya. Menciptakan dan memerintah adalah wewenang Allah sendiri. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.
Secara tersurat, ayat di atas dapat mengacu kepada arti bahwa Allah memiliki sifat lahiriyah, seperti makhluk-Nya. Kata yang dapat mengacu kepada arti lahiriyah tersebut ialah fi sittati ayyamin. Kata ini, secara tersurat, berarti enam hari (masa). Bila Allah ketika menjadikan makhluk memerlukan dimensi waktu, maka sama dengan perbuatan makhluk-Nya, yang memerlukan waktu untuk melakukan sesuatu. Hal itu dapat membawa kepada adanya kesamaan antara Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, kata fi sittati ayyyamin, ditafsirkan oleh para mufassir dengan arti enam periode (tahap). Kata ayyamin dalam ayat ini tidak diartikan dengan makna hari, sebab perhitungan hari, yang terdiri atas dua belas jam, baru ada setelah tercipta-Nya alam semesta ini, dan perhitungan hari itu diciptakan oleh manusia. Penafsiran kata-kata seperti ini, dalam kitab suci al-Qur'an, tidak dapat dilakukan secara lahiriyah, walaupun berdasarkan riwayat seperti yang ada dalam beberapa kitab Tafsir, sebab dapat mengacu kepada makna menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Dengan mengutip riwayat tersebut, al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan bahwa Tuhan memang menjadikan alam ini dalam enam hari. Pada hari sabtu Tuhan menjadikan tanah, pada hari ahad Tuhan menjadikan gunung, pada hari senin Tuhan menjadikan pohon-pohon, pada hari selasa Tuhan menjadikan sesuatu yang tidak disenangi, pada hari rabu Tuhan menjadikan nur (cahaya), pada hari kamis Tuhan menjadikan awan-awan dan pada hari jum'at waktu 'ashar Tuhan menjadikan Adam. Namun, riwayat yang dikutip al-Maraghi, ketika menafsirkan ayat tersebut, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai riwayat isra`iliyat. Padahal, riwayat isra`iliyat ditolak oleh kebanyakan ahli tafsir. Jadi, dalam hal ini kita dihadapkan kepada dua persoalan. Pertama, kita menghadapi ayat yang menginformasikan terma-terma keduniaan, seperti enam hari, yang mengusik kita untuk ingin mengetahui makna sebenarnya. Pada sisi lain, keterangan-keterangan yang menjelaskan ayat-ayat seperti ini banyak dipengaruhi oleh isra`iliyat.
Nampaknya, untuk tidak membawa kepada adanya sifat Tuhan yang lahiriyah, maka Tuhan menekankan dengan kata-kata ala lahu al-khalq wa al-amr (ketahuilah bahwa urusan menciptakan alam dan bumi dengan segala isinya dan mengatur kehidupan makhluknya adalah hak Tuhan semata). Hal itu pula yang dapat kita pahami dari munculnya kata penutup ayat yang berbunyi tabarak Allah rabb al-'Alamin ( Maha suci Allah, Tuhan semesta alam). Kata penutup ayat ini terkait dengan ungkapan sebelumnya, yakni ala lahu al-khalq wa al-amr, bahwa Tuhan Maha Suci dari hal-hal yang bersifat lahiriyah, seperti Tuhan membutuhkan dimensi waktu dalam menciptakan bumi dan langit, dan kekuasaan Tuhan tidak sama dengan kekuasaan makhluk-Nya. Hubungan kesesuaian antara uraian pada awal ayat dengan kata penutup dikenal dalam ilmu tafsir dengan istilah munasabah. Munasabah itu, disamping menunjuk kepada adanya kesesuaian antara awal uraian ayat dengan penutup, juga hubungan kesesuaian antara kata dengan kata lain dalam satu ayat, kesesuaian antara ayat dengan ayat lain dalam satu surat, kesesuaian antara ayat dengan ayat lain dalam surat yang berbeda, hubungan antara surat dengan nama surat dan hubungan antara penutup surat dengan awal surat berikutnya.
Dalam ayat lain ditemukan juga kata tabaraka yang berarti Mahasuci (Tuhan), misalnya dalam ayat 14 surat al-Mu`minun. Dalam ayat ini, Tuhan menjelaskan bahwa Tuhan menjadikan manusia dari air mani. Dari air mani itulah, Tuhan mengubahnya menjadi segumpal darah, kemudian menjadi tulang yang dibungkus dengan daging. Setelah itu, Tuhan menjadikannya sebagai makhluk yang berbentuk lain. Pada penutup ayat, Tuhan mengatakan: "Maha suci Allah, Pencipta yang paling baik." Kata tabaraka, yang diartikan maha suci oleh Departemen Agama dalam ayat ini, berarti bahwa Tuhan dalam menciptakan segala sesuatu, antara lain menciptakan manusia yang mengalami beberapa proses, tidak dibantu oleh siapa pun. Dia sendiri yang menciptakannya dan Maha Kuasa menciptakan seperti itu. Jadi, kata tabaraka berarti tidak membutuhkan pendamping dalam menciptakan alam dengan segala isinya yang cukup luas dan indah.
Dari kata baraka muncul kata mubarakat. Kata ini ditemukan dalam surat al-Dukhan ayat 2. Dalam ayat ini, Tuhan menjelaskan bahwa al-Qur'an turun pada malam yang di"berkah"i (mubarakah). Kata mubarakah dalam ayat ini, dapat dipahami dengan jelas jika dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang berbicara mengenai masalah yang sama, misalnya ayat 1 surat al-Qadr. Dalam ayat disebut tarakhir ini, Allah menjelaskan bahwa al-Qur'an diturunkan pada malam Qadr. Pada malam Qadr itu, Allah memberikan nilai pahala yang berlipat ganda kepada orang yang melakukan ibadah. Nilai ibadah pada malam itu, lebih baik dari nilai ibadah pada seribu bulan lainnya. Dengan mencari munasabah antara ayat-ayat seperti ini dapat dipahami bahwa kata mubarakah dalam surat al-Dukhan ayat 2 merujuk kepada arti kebaikan Tuhan yang diberikan kepada orang-orang yang beribadah pada malam tersebut, yakni kebaikan yang berlipat ganda bila dibandingkan dengan pahala ibadah pada malam-malam lainnya.
Dalam ayat 1 surat al-Furqan ditemukan juga kata tabaraka, yang mengacu kepada arti Mahasuci Tuhan. Dalam ayat tersebut, Allah disamping menjelaskan bahwa Ia menurunkan al-Furqan (al-Qur'an) kepada hamba-Nya untuk menjadi peringatan bagi alam semesta, Ia juga menggunakan kata tabaraka yang dikaitkan dengan diturunkannya al-Qur'an. Pentingnya penempatan kata tabaraka dalam kaitannya dengan diturunkannya al-Qur'an, karena substansi al-Qur'an tidak dapat ditandingi oleh manusia, sejak diturunkannya pada masyarakat jahiliyah hingga zaman kita sekarang. Memang ada beberapa orang yang mencoba menandingi al-Qur'an, antara lain Musailamah al-Kazzab, dan Utbah bin Rabi'ah, namun usaha mereka tidak pernah menyamai al-Qur'an, apalagi menandinginya. Bahasa-bahasa yang mereka susun, yang dikatakan sebagai al-Qur'an, jauh berbeda dengan bahasa-bahasa al-Qur'an yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad. Jadi, penempatan kata tabaraka dalam ayat 1 surat al-Furqan, dan dengan dikaitkannya dengan uraian mengenai al-Qur'an yang datang dari sisi Allah serta kenyataannya yang tidak dapat ditandingi oleh manusia, menunjukkan sifat kemahakuasaan Tuhan yang jauh dari kekuasaan manusia.
Bentuk lain dari kata baraka ialah barakat (jamak dari kata barakah). Dalam bentuk seperti ini, kata barakah berarti tsubut al-khayr al-ilahiy. Makna kata barakah seperti ini dapat ditemukan dalam al-Qur'an surat Fushshilat ayat 10, surat al-A'raf ayat 137, surat al-Isra' ayat 1, surat al-Anbiya' ayat 71, dan 81, surat Saba' ayat 218, dan surat al-A'raf ayat 96. Diantara ayat yang mengandung kata barakah dalam makna seperti ini dapat dikutip terjemahnya sebagai berikut: "Jikalau sekiranya penduduk kota beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka "berkah" dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat (Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."
Kata barakat dalam ayat di atas berarti kebaikan Tuhan. Kebaikan itu tidak diterima begitu saja oleh manusia. Ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh manusia untuk mendapatkannya. Dalam surat al-A'raf ayat 96, misalnya, Tuhan mengaitkan pemberian-Nya ("berkah") dengan keimanan dan ketaqwaan. Kebaikan itu dapat muncul dari langit dan dari bumi. Menurut Ahmad Mushthafa al-Maraghi, penulis Tafsir al-Maraghi, "berkah" dari langit mencakup pengetahuan yang diberikan Tuhan dan ilham (bimbingan)-Nya dan dapat pula berarti hujan dan semacamnya yang mengakibatkan kesuburan dan kemakmuran tanah. Sedangkan "berkah" dari bumi adalah tumbuhnya tanaman setelah turunnya hujan dari langit. Lebih lengkapnya, al-Maraghi menafsirkan bahwa seandainya penduduk suatu negara beriman kepada apa-apa yang dibawa oleh Rasul Tuhan, misalnya mentauhidkan-Nya, dan menjauhkan diri dari kemusyrikan dan tidak membuat kerusakan di bumi, maka Tuhan akan memberikan kebaikan ("berkah"). "berkah" itu berupa turunnya hujan dari langit yang menyuburkan tanah. Akibatnya, makmurlah kehidupan penghuni bumi. "berkah" lain adalah berupa ilmu pengetahuan dan pemahaman terhadap sunatullah (hukum alam). Tegasnya, menurut al-Maraghi, bila penduduk negeri beriman dan bertaqwa, Allah akan memperluas kebaikan kepada mereka dalam segala segi.
Namun dalam ayat-ayat lain, Tuhan tidak menjelaskan bahwa untuk mendapat kebaikan harus dengan syarat-syarat tertentu, misalnya keimanan dan ketaqwaan. Dalam surat al-Isra' ayat 1, misalnya Tuhan menjelaskan bahwa Nabi Muhammad diisra'kan (dijalankan pada malam hari) oleh Tuhan dari Masjid al-Haram (kota Makkah) ke Masjid al-Aqsha (Palestina). Masjid al-Aqsha dan daerah-daerah sekitarnya di"berkah"i oleh Allah. Depertemen Agama mengartikan ungkapan "Tuhan memberi "berkah" Masjid al-Aqsha dan daerah-daerah sekitarnya" dengan arti" Tuhan menurunkan Nabi-Nabi dan menjadikan subur tanah sekitarnya".
Memang, Masjid al-Aqsha sangat tepat dinamakan tempat yang mendapat "berkah" --dalam pengertian yang diberikan oleh Departemen Agama di atas. Sebab, Nabi yang diutus Tuhan untuk membawa kebaikan hidup manusia, kebanyakan diutus di Masjid al-Aqsha dan sekitarnya. "berkah" diutusnya para Nabi, manusia mendapat ilmu pengetahuan dan petunjuk dalam kehidupannya yang, pada umumnya, tertuang dalam kitab suci yang dibawa oleh para nabi tersebut.
Terlepas dari apakah turunnya "berkah" Tuhan harus diawali oleh keimanan dan ketaqwaan manusia atau tidak, kata "berkah" itu sendiri tetap mengacu kepada adanya kebaikan Tuhan, baik yang ada pada manusia maupun yang ada pada makhluk lainnya. Al-Qur'an sendiri disebut oleh Allah sebagai kitab suci yang di"berkah"i (kitab mubarak). Al-Qur'an disebut kitab yang di"berkah"i adalah karena ia mengandung ajaran-ajaran yang baik yang datang dari Tuhan. Tidak ada ajaran dalam al-Qur'an yang tidak baik. Manusia, karena keterbatasannya, terkadang tidak dapat memahami kebaikan yang terkandung dalam kitab suci tersebut. Kata mubarakah juga ditemukan dalam ayat 35 surat al-Nur.
Dalam ayat ini Allah menggunakan kata "berkah" untuk menyifati pohon zaitun, walaupun kata tersebut tetap mengacu kepada makna tsubut al-khayr al-ilahiy. Tegasnya, terdapat kebaikan Allah dalam pohon tersebut, baik yang menyangkut letak pohon tersebut atau substansi dari pohon zaitun itu sendiri. Dari segi letaknya, sebagaimana diterangkan dalam ayat ini, pohon zaitun itu terletak pada suatu tempat yang cukup strategis, yaitu tumbuh di puncak bukit, sehingga ia mendapat sinar pada saat matahari terbit dan pada saat matahari terbenam. Akibat letaknya yang strategis, pohon zaitun tumbuh subur. Substansi pohon zaitun itu sendiri dapat menghasilkan minyak yang baik untuk kesehatan manusia. Jadi ringkasnya, penggunaan kata berkat dalam ayat al-Qur'an tidak saja menyangkut kebaikan Allah kepada sesuatu yang diungkap dalam ayat itu, tetapi juga menyangkut sesuatu yang tidak substansial, misalnya letak pohon zaitun seperti yang diterangkan dalam ayat 35 surat al-Nur tersebut.
Kata "berkah" juga digunakan oleh Allah untuk menyifati air (ma`an mubarakan), seperti yang terdapat dalam surat Qaf ayat 9. Kata mubarakan dalam ayat ini pun tetap mengacu kepada kebaikan Allah, yakni yang terdapat dalam air tersebut. Sebagaimana diterangakan pada ayat-ayat setelahnya, air berguna, antara lain, untuk menumbuhkan pohon-pohon yang terdapat dalam kebun-kebun, dan biji-bijian seperti padi, jagung, gandum dan sebagainya yang dapat dipanem. Air juga berguna untuk menumbuhkan pohon kurma yang tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun. Semua itu untuk menjadi rezeki bagi hamba Allah.
Memang, air memiliki manfaat yang cukup banyak. Oleh karena itu, pada ayat 30 surat al-Anbiya`, Allah menjelaskan bahwa Dia menjadikan segala sesuatu yang hidup dari air. Kata-kata "berkah" yang muncul dalam al-Qur'an, semuanya mengacu kepada sebuah arti bahwa pelaku yang memberi "berkah" hanyalah Allah. Oleh sebab itu, baik al-Asfahani, al-Maraghi maupun Lewis, sama-sama memberi arti kata "berkah" dengan arti kebaikan Tuhan. Dengan demikian, ungkapan yang digunakan oleh orang, misalnya: Dengan "berkah" si Fulan, saya tertolong dari segala kesusahan" tidak dipahami dengan arti" si Fulan yang memberi "berkah"", akan tetapi mengacu kepada arti "akibat". Dengan kata lain, akibat si Fulan, saya terhindar dari segala kesusahan. Jadi, si Fulan tidak mempunyai wewenang memberi kebaikan ("berkah"), tapi Tuhanlah yang memberi kebaikan ("berkah"). Si Fulan hanya memberi bantuan kepada orang lain dari kebaikan ("berkah") yang diberikan Tuhan kepadanya.
Ungkapan baraka fiy digunakan untuk mendoakan seseorang supaya mendapat kebaikan atau kerelaan dari Tuhan. Ungkapan baraka Allah fika wa 'alayka berarti ja'alaka mubarakan (Allah memberi kebaikan kepadamu ). Adapun ungkapan al-barak dapat pula berarti al-sa'adah (kebahagiaan), atau al-ziyadah (tambahan). Dari arti asal kata "berkah" ini, dapat dipahami bahwa orang yang dido'akan orang lain agar mendapat "berkah" berarti dido'akan semoga mendapat keridlaan Tuhan. Dengan ridla Tuhan, ia akan mendapat kebahagiaan dan nikmat Tuhan.
Rasulullah pernah mengajarkan ucapan yang ditujukan kepada sepasang penganten yang baru saja melangsungkan perkawinan, yang berbunyi: Baraka Allah lakuma wa baraka alaykuma wa jama'a baynakuma fi khayr" mengandung pengertian doa. Ungkapan tersebut berarti semoga Allah memberi kebaikan kepada sepasang penganten yang baru saja memasuki kehidupan rumah tangga dan menjadi pasangan yang langgeng sepanjang masa.
Kembali kepada ayat yang berbunyi: Hadza dzikrun mubarakun anzalnahu (Qur'an surat al-An'am ayat 92). Ayat ini mengandung makna bahwa kitab suci tersebut berisi kumpulan peraturan yang berbentuk perintah dan larangan Tuhan, yang kalau perintah itu dikerjakan dan larangan dihindari, seseorang akan mendapat kebaikan. Undang-undang itu merupakan sebagian kebaikan yang datang dari Allah. Masih banyak lagi nikmat Tuhan yang tidak dapat dihitung dan diduga. Sesuatu yang dirasakan mendapat tambahan kebaikan Tuhan, walaupun tidak dapat dilihat, disebut juga sebagai "berkah".
Dalam hubungannya dengan tambahan kebaikan ini, Rasulullah bersabda:" Harta benda tidak akan berkurang karena disedekahkan". Secara lahiriyah, mengeluarkan sedekah berarti mengurangi harta. Akan tetapi secara tersirat, harta tidak akan berkurang, bahkan akan bertambah, yakni artinya, Tuhan akan menambah lagi rejeki kepada orang yang mengeluarkan harta, yang boleh jadi tanpa diduga dan tanpa diketahui oleh orang tersebut. Orang yang merasa merugi karena mengeluarkan harta di jalan Allah, karena ia hanya mencari hubungan lahiriyah antara infak harta di jalan Allah dengan kebaikan yang diperolehnya. Dicari dengan jalan apa pun, apalagi dengan jalan ilmiah, yang menuntut adanya pemikiran rasional, obyektif, dan sistimatis, tidak akan ditemukan hubungan antara dua hal di atas.
Oleh karena itu, dibutuhkan sikap imani, yaitu keimanan yang mendalam bahwa sebagian nikmat Tuhan yang kita rasakan dalam kehidupan ini, atau bahkan seluruhnya, adalah pemberian Tuhan. Pemberian Tuhan boleh jadi karena Tuhan memiliki sifat Rahman (pengasih). Dengan sifat itu, Tuhan dapat memberi kebaikan kepada siapa saja, tanpa memandang suku, ras, agama dan golongan.
Sebaliknya, sanksi (siksaan) Tuhan di dunia terhadap orang yang berdosa, tidak dapat diperhitungkan secara ilmiah dan rasional, sebab tidak ada hubungan yang dapat dilihat secara kongkrit antara pelanggaran yang dilakukan dengan balasan Tuhan di dunia. Hanya sikap imani pula yang dapat mengakui adanya hubungan antara pelanggaran dengan sanksi di dunia.
Dari uraian yang dipaparkan di atas, dapat dipahami bahwa "berkah" adalah kebaikan Tuhan, baik berupa materi maupun non materi. "Berkah" atau kebaikan itu hanya milik Tuhan dan datang dari Tuhan. Dari makna kata "berkah" dalam konsep Islam, dapat diketahui bahwa beberapa makna "berkat" dalam bahasa Indonesia, ada yang tidak sejalan dan ada pula yang sejalan dengan arti "berkah" dalam konsep Islam. Diantara makna kata "berkah" dalam bahasa Indonesia yang tidak sejalan dengan makna kata "berkah" dalam konsep Islam ialah restu atau pengaruh baik (yang menyebabkan selamat) yang didatangkan dengan perantaraan orang tua, orang suci dan sebagainya, misalnya dalam contoh: "Ia selalu berdoa dan minta berkat kepada orang tuanya yang telah meninggal." Makna kata "berkah" seperti ini tidak terdapat dalam konsep Islam, sebab orang yang telah meninggal dunia tidak dapat berhubungan lagi dengan orang yang masih hidup, apalagi memberi kebaikan. Makna lain dari kata berkat dalam bahasa Indonesia yang tidak sejalan dengan makna kata "berkah" dalam konsep Islam ialah akibat, misalnya dalam contoh: "Berkat rajin belajar, ia lulus dalam ujian." Makna kata "berkah" seperti ini tidak dikenal dalam konteks bahasa Arab dan konsep Islam. Orang Arab bila ingin mengungkap keberhasilannya, yang dilatar belakangi oleh kerja keras, mereka mengungkapkannya, antara lain, dengan kalimat: "Huwa najaha fi al-imtihan, li'annahu ta'allama bi juhdin"( Ia lulus dalam ujian, karena belajar dengan sungguh-sungguh). Makna lain lagi dari kata berkat dalam bahasa Indonesia yang tidak sejalan dengan makna kata berkat dalam konsep Islam ialah makanan yang dibawa pulang sehabis berkenduri. Ungkapan seperti ini tidak dikenal dalam bahasa Arab dan Islam. Ungkapan tersebut hanya dapat dipahami dengan arti al-ziyadat (kelebihan). Artinya, orang yang mengadakan kenduri, karena memiliki kelebihan harta atau rezeki, lalu membagi-bagikannya kepada orang lain. Selanjutnya, makna lain lagi dari kata "berkah" dalam bahasa Indonesia yang tidak sejalan dengan makna kata "berkah" dalam konsep Islam ialah memberkati atau berdoa, misalnya dalam kalimat: "Pendeta itu mendoa sambil memberkati orang yang ada di sekitarnya." Sebab, hanya Allah yang dapat memberi "berkah".
Sedangkan makna kata "berkah" dalam bahasa Indonesia yang sejalan dengan makna kata "berkah" dalam konsep Islam ialah karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan kepada kehidupan manusia, misalnya dalam kalimat: "Mudah-mudahan Tuhan melimpahkan berkat-Nya kepada kita sekalian". Makna ini memang sesuai dengan makna kata berkat dalam Islam, sebab makna kata "berkah" ialah tsubut al-khayr al-ilahiy (adanya kebaikan Tuhan). Kebaikan itu dapat dirasakan oleh seseorang, baik sebagai balasan atas ketaqwaan dan keimanannya kepada Tuhan maupun diberikan begitu saja oleh Tuhan karena sifat maha pemurah-Nya dan Maha Kuasa-Nya untuk berbuat sekehendak hatinya, tanpa ada yang mampu menghalanginya. @

Tidak ada komentar: