Selasa, 04 November 2008

Pasar Modal Syariah

PASAR MODAL SEBAGAI INSTRUMEN
LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Oleh : Agus Arwani, SE, M.Ag.
STAIN Pekalongan
MA KH. Syafi’i Buaran

Pendahuluan

Adalah benar adanya bahwa perkembangan ekonomi suatu negara tidak lepas dari perkembangan pasar modal. Perkembangan pasar modal di negara-negara maju, termasuk di negara-negara muslim sekalipun, kiranya menuntut untuk dicermati lebih lanjut. Hal ini menjadi keharusan, selain terkait dengan semakin membesarnya peran pasar modal di dalam memobilisasi dana ke sektor riil, juga disebabkan adanya tuntutan bahwa sekuritas yang diperdagangkan harus selaras dengan syariat Islam. Sependapat dengan hipotesis Fauzi (lihat dalam Achsien, hal. xv, 2003), bahwa masyarakat yang semakin terdidik akan semakin tidak suka menanamkan dana mereka di bank komersial, karena bank komersial memberikan return yang relatif kecil, meskipun risikonya juga relatif kecil. Tapi, justru di sinilah masalahnya. Masyarakat yang semakin paham akan pasar keuangan, semakin mengerti akan penilaian dan pengendalian risiko investasi, akan semakin berani memasuki area yang lebih berisiko.
Dalam konteks investasi syariah di pasar modal, pemahaman akan pengendalian risiko dan return saja tidak cukup, hal lain yang tak kalah penting untuk dipahami adalah pengenalan akan sekuritas-sekuritas mana yang selaras dengan syariah Islam. Dari banyak jenis sekuritas yang ada, beberapa di antaranya telah telah memperoleh pengakuan dari Dewan Syariah Nasional (DSN) atas kesyariahannya.
Yang dikehendaki dari pengenalan prinsip-prinsip keuangan Islami tersebut, terutama tentang bentuk-bentuk kontraknya, adalah baik investor maupun para akademisi nantinya dapat kritis menilai setiap sekuritas yang tersedia, serta tetap konsisten menggunakan sekuritas-sekuritas yang selaras dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan demikian, mereka tidak akan menjadi naif, menolak seluruh sekuritas yang ada dengan anggapan sama sekali bertentangan dengan syariah Islam. Tidak lantas pula menerima begitu saja modifikasi-modifikasi yang dilakukan tanpa telaah yang dalam secara substansif (Achsien, hal.59, 2003).

Bursa adalah pasar yang di dalamnya berjalan usaha jual beli saham. Berkaitan dengan hasil bumi, juga melibatkan para broker yang menjadi perantara antara penjual dengan pembeli.
Sebab disebut Bursa. Ada yang mengatakan, bahwa disebut sebagai bursa karena dinisbatkan kepada sebuah hotel di Belgia dimana kalangan konglomerat dan para broker berkumpul untuk melakukan operasi kerja mereka. Atau dinisbatkan kepada sorang lelaki Belgia bernama Deer Bursiah, yang memiliki sebuah istana tempat berkumpulnya kaum konglomerat dan para broker untuk tujuan yang sama.

Target bursa adalah menciptakan pasar simultan dan kontinyu dimana penawaran dan permintaan serta orang-orang yang hen-dak melakukan perjanjian jual beli dipertemukan. Tentunya semua itu dapat menggiring kepada berbagai keuntungan yang sebagian diantaranya akan penulis paparkan sebentar lagi.

Namun di sisi lain juga mengandung banyak sekali unsur penzhaliman dan kriminalitas, seperti perjudian, perekrutan uang dengan cara haram, monopoli jual beli, memakan uang orang dengan batil, mempermainkan/berspekulasi dengan orang dan masyarakat. Karena disebabkan oleh bursa itu, banyak kekayaan dan potensi ekonomi yang hancur terpuruk dalam pelimbahan dalam waktu pendek, persis seperti kehancuran akibat gempa bumi atau bencana alam lainnya!
Saham Syariah
Saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga.
Untuk investor muslim, Achsien (hal. 60, 2003) berujar, inestasi pada saham (equity investment) memang sudah semestinya menjadi preferensi untuk menggantikan investasi pada interest yielding bonds atau sertifikat deposito, walaupun jika kemudian dinyatakan dalam fikih klasik dikatakan bahwa ekuitas dalam hal ini saham tidak bisa dipersamakan dengan instrumen keuangan Islam seperti kontrak mudharabah atau musyarakah. Saham dapat diperdagangkan kapan saja di pasar sekunder tanpa memerlukan persetujuan dari perusahaan yang mengeluarkan saham. Sementara mudharabah dan musyarakah ditetapkan berdasarkan persetujuan rab al mal (investor) dan perusahaan sebagai mudharib untuk suatu periode tertentu.
Karena batasan periode kontrak yang mengikat tersebut, yang menjadikan mudharabah dan musyarakah seringkali dianggap tidak likuid. Sementara saham, memungkinkan untuk dijual kapan saja, sehingga sudah pasti lebih likuid dan lebih atraktif, meskipun kemudian terjadi modifikasi untuk membuat kontrak keuangan Islam mejadi likuid.
Adapun pendapatnya Wahbah al Zuhaili dalam al Fiqh al Islami wa adillatuhu juz 3/1841 dinyatakan bahwa:
“bermuamalah dengan (melakukan kegiatan transaksi atas) saham hukumnya oleh, karena pemilik saham adalah mitra dalam perseroan sesuai dengan saham yang dimilikinya.”
Pendapat para ulama yang memperbolehkan jual beli saham serta pengalihan kepemilikan porsi suatu surat berharga berdasar pada ketentuan bahwa selama semua itu disepakati dan diizinkan oleh pemilik porsi lain dari suatu surat berharga (bi idzni syarikihi). Keputusan Muktamar ke-7 Majma’ Fiqh Islami tahun 1992 di Jeddah pun menyatakan bahwa boleh menjual atau menjaminkan saham dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku pada perseroan.
Tidak semua saham yang terdaftar di pasar modal memenuhi prinsip-prinsip syariah. Untuk itulah Bursa Efek Jakarta(BEJ) bekerjasama dengan Danareksa Investment Management, mengembangkan suatu indeks untuk melisting saham-saham mana saja yang layak dianggap memenuhi prinsip-prinsip syariah. Indeks ini disebut juga dengan Jakarta Islamic Indeks (JII). Saham-saham yang masuk dalam Indeks ini adalah saham yang kegiatan emitenya tidak bertentangan dengan syariah, misalnya:
- usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan terlarang
- usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan asuransi konvensional
- usaha yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dana minuman yang tergolong haram
- usaha yang memproduksi, mendistribusi dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.
Obligasi Syariah
Obligasi syariah di dunia internasional dikenal dengan sukuk. Sukuk berasal dari bahasa Arab “sak” (tunggal) dan “sukuk” (jamak) yang memiliki arti mirip dengan sertifikat atau note. Dalam pemahaman praktisnya, sukuk merupakan bukti (claim) kepemilikan. Sebuah sukuk mewakili kepentingan, baik penuh maupun proporsional dalam sebuah atau sekumpulan aset (lihat, Hakim, 2005).
Berbeda dengan konsep obligasi konvensional selama ini, yakni obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga, obligasi syariah adalah suatu surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syraiah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo (lihat Fatwa DSN, 2004).
Kendatipun, jika ditinjau dari aspek akad, obligasi dapat dimodifikasi ke pelbagai jenis, seperti obligasi salam, istisna, murabahah, musyarakah, mudharabah ataupun Ijarah, namun yang lebih populer dalam perkembangan obligasi syariah di Indonesia hingga saat ini adalah obligasi mudharabah dan ijarah.
Obligasi syariah di Indonesia mulai diterbitkan pada paruh akhir tahun 2002, yakni dengan disahkannya Obligasi Indosat obligasi yang diterbitkan ini berdasarkan prinsip mudharabah. Obligasi mudharabah mulai diterbitkan setelah fatwa tentang obligasi syariah (Fatwa DSN-MUI No. 32/DSN-MUI/ /2002) dan obligasi syariah mudharabah (Fatwa DSN-MUI No. 33/DSN-MUI/ /2002). Sedangkan obligasi syariah ijarah pertama kali diterbitkan pada tahun 2004 setelah dikeluarkannya fatwa tentang obligasi syariah ijarah (Fatwa DSN-MUI No. 41/DSN-MUI/ /2003).
Penerapan mudharabah dalam obligasi cukup sederhana. Emiten bertindak selaku mudharib, pegelola dana dan investor bertindak selaku shahibul mal, lias pemilik modal. Keuntungan yang diperoleh investor merupakan bagian proporsional keuntungan dari pengelolaan dana oleh investor. Menyikapi adanya indikasi bahwa terdapat kontradiksi antara mudharabah dan obligasi dalam definisi, serta masih adanya anggapan bahwa obligasi syariah mudharabah sejatinya tetaplah sebagai surat hutang, lebih lanjut, Hakim mengatakan bahwa transaksi mudharabah dalam konteks obligasi syariah mudaharabah ini adalah transaksi investment, bukan hutang piutang. Karena investment meruapakan milik pemilik modal, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain. Prinsip inilah yang mendasari dibolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah.

Macam-macam Transaksi Bursa Efek
Pertama: Dari Sisi Waktunya
1. Transaksi instant. Yakni transaksi dimana dua pihak pelaku transaksi melakukan serah terima jual beli secara langsung atau paling lambat 2 kali 24 jam.
2. Transaksi berjangka. Yakni transaksi yang diputuskan setelah beberapa waktu kemudian yang ditentukan dan disepakati saat transaksi. Terkadang harus diklarifikasi lagi pada hari-hari yang telah ditetapkan oleh komite bursa dan ditentukan serah terimanya di muka.

Baik transaksi instant maupun transaksi berjangka terka-dang menggunakan kertas-kertas berharga, terkadang mengguna-kan barang-barang dagangan.

Yang dimaksud dengan transaksi instant adalah serah terima barang sungguhan, bukan sekedar transaksi semu, atau bukan sekedar jual beli tanpa ada barang, atau bisa diartikan ada serah terima riil.

Sementara transaksi berjangka tujuannya pada umumnya adalah hanya semacam investasi terhadap berbagai jenis harga tanpa keinginan untuk melakukan jual beli secara riil, dimana jual beli ini pada umumnya hanya transaksi pada naik turun harga-harga itu saja.

Bahkan di antara transaksi berjangka ada yang bersifat per-manen bagi kedua pihak pelaku. Ada juga yang memberikan be-berapa bentuk hak pilih sesuai dengan bentuk transaksi. Transaksi yang memberikan hak pilih ini memiliki perbedaan dari transaksi lain, bahwa orang yang mendapatkan hak pilih harus membayar biaya kompensasi bila ia menggunakan hak pilih tersebut.
Mengaplikasikan sistem investasi dalam dunia bursa mem-berikan pengertian lain bagi sistem investasi itu tidak sebagai-mana yang dikenal dalam ruang lingkup pembahasan fiqih Islam.

Kerjasama investasi dalam fiqih Islam yaitu: menyerahkan modal kepada orang yang mau berniaga dengan menerima seba-gian keuntungannya. Transaksi ini merealisasikan kesempurnaan hubungan saling melengkapi antara pemilik modal yang tidak memiliki keahlian berusaha dengan orang yang memiliki keahlian berusaha tetapi tidak memiliki modal.

Kerjasama investasi dalam dunia bursa adalah dengan me-ngandalkan cara jual beli atas dasar prediksi/ramalan, yakni pre-diksi aktivitas harga pasar untuk mendapatkan harga yang lebih.

Kedua: Dari Sisi Objek

Dari sisi objeknya transaksi bursa efek ini terbagi menjadi dua:
1. Transaksi yang menggunakan barang-barang komoditi (Bursa komoditi).
2. Transaksi yang menggunakan kertas-kertas berharga (Bursa efek).

Dalam bursa komoditi yang umumnya berasal dari hasil alam, barang-barang tersebut tidak hadir. Barter itu dilakukan dengan menggunakan barang contoh atau berdasarkan nama dari satu jenis komoditi yang disepakati dengan penyerahan tertunda.

Bursa efek sendiri objeknya adalah saham dan giro. Keba-nyakan transaksi bursa itu menggunakan kertas-kertas saham tersebut.

Giro yang dimaksud di sini adalah cek yang berisi perjanjian dari pihak yang mengeluarkannya, yakni pihak bank atau perusa-haan untuk orang yang membawanya agar ditukar dengan sejumlah uang yang ditentukan pada tanggal yang ditentukan pula dengan jaminan bunga tetap, namun tidak ada hubungannya sama sekali dengan pergulatan harga pasar.

Sementara saham adalah jumlah satuan dari modal koperatif yang sama jumlahnya bisa diputar dengan berbagai cara berda-gang, dan harganya bisa berubah-rubah sewaktu-waktu tergan-tung keuntungan dan kerugian atau kinerja perusahaan tersebut.

Berbagai Dampak Positif Bursa Saham

Berbagai sisi positif dari bursa tersebut tergambar pada hal-hal berikut:
1. Bursa saham ini membuka pasar tetap yang mempermudah para pembeli dan penjual untuk saling bertemu lalu melakukan transaksi instant maupun transaksi berjangka terhadap kertas-kertas saham, giro maupun barang-barang komoditi.
2. Mempermudah pendanaan pabrik-pabrik dan, perda-gangan dan proyek pemerintah melalui penjualan saham dan kertas-kertas giro komersial.
3. Bursa ini juga mempermudah penjualan saham dan giro pinjaman kepada orang lain dan menggunakan nilainya. Karena para perusahaan yang mengeluarkan saham-saham itu tidak me-matok harga murni untuk para pemiliknya.
4. Mempermudah mengetahui timbangan harga-harga saham dan giro piutang serta barang-barang komoditi, yakni per-gulatan semua hal tersebut dalam dunia bisnis melalui aktivitas penawaran dan permintaan.

Beberapa Dampak Negatif Bursa Saham

Adapun dampak-dampak negatif dari adanya bursa saham ini tergambar pada hal-hal berikut:
1. Transaksi berjangka dalam pasar saham ini sebagian besarnya bukanlah jual beli sesungguhnya. Karena tidak ada unsur serah terima dalam pasar saham ini antara kedua pihak yang bertransaksi, padahal syarat jual beli adalah adanya serah terima dalam barang yang disyaratkan ada serah terima barang dagangan dan pembayarannya atau salah satu dari keduanya.

2. Kebanyakan penjualan dalam pasar ini adalah penjualan sesuatu yang tidak dimiliki, baik itu berupa mata uang, saham, giro piutang, atau barang komoditi komersial dengan harapan akan dibeli di pasar sesunguhnya dan diserahterimakan pada saatnya nanti, tanpa mengambil uang pembayaran terlebih dahulu pada waktu transaksi sebagaimana syaratnya jual beli As-Salm.

3. Pembeli dalam pasar ini kebanyakan membeli menjual kembali barang yang dibelinya sebelum dia terima. Orang kedua itu juga menjualnya kembali sebelum dia terima. Demikianlah jual beli ini terjadi secara berulang-ulang terhadap satu objek jualan sebelum diterima, hingga transaksi itu berakhir pada pembeli terakhir yang bisa jadi sebenarnya ingin membeli barang itu langsung dari penjual pertama yang menjual barang yang belum dia miliki, atau paling tidak menetapkan harga sesuai pada hari pelaksanaan transaksi, yakni hari penutupan harga. Peran penjual dan pembeli selain yang pertama dan terakhir hanya mencari keuntungan lebih bila mendapatkan keuntungan saja, dan melepasnya bila sudah tidak menguntungkan pada waktu tersebut persis seperti yang dilakukan para pejudi.

4. Yang dilakukan oleh para pemodal besar dengan memonopoli saham dan sejenisnya serta barang-barang komoditi komersial lain di pasaran agar bisa menekan pihak penjual yang menjual barang-barang yang tidak mereka miliki dengan harapan akan membelinya pada saat transaksi dengan harga lebih murah, atau langsung melakukan serahterima sehingga menyebabkan para penjual lain merasa kesulitan.

5. Sesungguhnya bahaya pasar modal semacam ini berpang-kal dari dijadikannya pasar ini sebagai pemberi pengaruh pasar dalam skala besar. Karena harga-harga dalam pasar ini tidak sepe-nuhnya bersandar pada mekanisme pasar semata secara praktis dari pihak orang-orang yang butuh jual beli. Namun justru terpe-ngaruh oleh banyak hal, sebagian diantaranya dilakukan oleh para pemerhati pasar, sebagian lagi berasal dari adanya monopoli barang dagangan dan kertas saham, atau dengan menyebarkan berita bohong dan sejenisnya. Di sinilah tersembunyi bahaya besar menurut tinjauan syariat. Karena cara demikian menyebabkan ketidakstabilan harga secara tidak alami, sehingga berpengaruh buruk sekali pada perekonomian yang ada.

Sebagai contoh saja bukan untuk menyebutkan secara keseluruhan: sebagian besar investor sengaja melempar sejumlah kertas saham dan giro, sehingga harganya menjadi jatuh karena terlalu banyak penawaran. Pada akhirnya para pemilik saham kecil-kecilan bergegas menjualnya kembali dengan harga murah sekali, karena khawatir harga saham-saham itu semakin jatuh se-hingga mereka semakin rugi. Dengan adanya penawaran mereka itu, mulailah harga saham itu terus menurun, sehingga para investor besar itu berkesempatan membelinya kembali dengan harga lebih murah dengan harapan akan bisa meninggikan harga-nya dengan banyaknya permintaan. Pada akhirnya para investor besarlah yang beruntung sementara kerugian besar-besaran harus ditanggung investor kecil-kecilan, sebagai akibat dari perbuatan investor besar yang berpura-pura melempar kertas-kertas saham itu sebagai ikutan. Hal itupun terjadi di pasar komoditi komersial.

Oleh sebab itu pasar saham ini telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan para ekonom. Faktor penyebabnya adalah bahwa pasar ini pada suatu saat dalam dunia ekonomi menyebab-kan hilangnya modal besar-besaran dalam waktu yang singkat sekali. Di sisi lain pasar ini bisa menyebabkan munculnya para OKB (orang kaya baru) tanpa banyak mengeluarkan keringat. Bahkan pada saat terjadi krisis ekonomi berat di dunia, banyak pakar ekonomi yang menuntut agar pasar bursa itu dibubarkan. Karena pasar bursa itu bisa menyebabkan hilangnya banyak modal, menggulingkan roda perekonomian hingga jatuh ke jurang dalam waktu yang sangat cepat, seperti yang terjadi akibat ben-cana alam dan gempat bumi.

Hukum-hukum Syariat Tentang Transaksi Bursa Saham

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa transaksi bursa itu di antaranya ada yang bersifat instant, pasti dan permanen, dan ada juga yang berjangka dengan syarat uang di muka. Di lihat dari objeknya terkadang berupa jual beli barang komoditi biasa, dan terkadang berupa jual beli kertas saham dan giro.

Karena transaksinya bermacam-macam dengan dasar seperti ini, sehingga tidak mungkin ditetapkan hukum syariatnya dalam skala umum, harus dirinci terlebih dahulu baru masing-masing jenis transaksi ditentukan hukumnya secara terpisah.

Lembaga Pengkajian fiqih yang mengikut Rabithah al-alam al-Islami telah merinci dan menetapkan hukum masing-masing transaksi itu pada pertemuan ketujuh mereka yang diadakan pada tahun 1404 H di Makkah al-Mukarramah. Sehubungan dengan persoalan ini, majelis telah memberikan keputusan sebagai berikut:
Pertama: Pasar bursa saham itu target utamanya adalah menciptakan pasar tetap dan simultan dimana mekanisme pasar yang terjadi serta para pedagang dan pembeli dapat saling bertemu melakukan transaksi jual beli. Ini satu hal yang baik dan berman-faat, dapat mencegah para pengusaha yang mengambil kesempatan orang-orang yang lengah atau lugu yang ingin melakukan jual beli tetapi tidak mengetahui harga sesungguhnya, bahkan tidak mengetahui siapa yang mau membeli atau menjual sesuatu kepa-da mereka.

Akan tetapi kemaslahatan yang jelas ini dalam dunia bursa saham tersebut terselimuti oleh berbagai macam transaksi yang amat berbahaya menurut syariat, seperti perjudian, memanfa-atkan ketidaktahuan orang, memakan uang orang dengan cara haram. Oleh sebab itu tidak mungkin ditetapkan hukum umum untuk bursa saham dalam skala besarnya. Namun yang harus di-jelaskan adalah segala jenis transaksi jual beli yang terdapat di dalamnya satu persatu secara terpisah.

Kedua: Bahwa transaksi instant terhadap barang yang ada dalam kepemilikan penjual untuk diserahterimakan bila syaratkan harus ada serah terima langsung pada saat transaksi menurut syariat, adalah transaksi yang dibolehkan. Selama transaksi itu bukan terhadap barang haram menurut syariat pula. Namun kalau barangnya tidak dalam kepemilikan penjual, harus dipe-nuhi syarat-syarat jual beli as-Salm. Setelah itu baru pembeli boleh menjual barang tersebut meskipun belum diterimanya.

Ketiga: Sesungguhnya transaksi instant terhadap saham-saham perusahaan dan badan usaha kalau saham-saham itu me-mang berada dalam kepemilikan penjual boleh-boleh saja menu-rut syariat, selama perusahaan atau badan usaha tersebut dasar usahanya tidak haram, seperti bank riba, perusahaan minuman keras dan sejenisnya. Bila demikian, transaksi jual beli saham tersebut menjadi haram.

Keempat: Bahwa transaksi instant maupun berjangka terhadap kuitansi piutang dengan sistem bunga yang berbagai macam bentuknya tidaklah dibolehkan menurut syariat, karena semua itu adalah aktivitas jual beli yang didasari oleh riba yang diharamkan.

Kelima: Bahwa transaksi berjangka dengan segala ben-tuknya terhadap barang gelap, yakni saham-saham dan barang-barang yang tidak berada dalam kepemilikan penjual dengan cara yang berlaku dalam pasar bursa tidaklah dibolehkan menurut syariat, karena termasuk menjual barang yang tidak dimiliki, dengan dasar bahwa ia baru akan membelinya dan menyerah-kannya kemudian hari pada saat transaksi. Cara ini dilarang oleh syariat berdasarkan hadits shahih dari Rasulullah a bahwa beliau bersabda, "Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki." Demikian juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang shahih dari Zaid bin Tsabit y, bahwa Nabi a melarang menjual barang dimana barang itu dibeli, sehingga para saudagar itu mengangkutnya ke tempat-tempat mereka.
Keenam: Transaksi berjangka dalam pasar bursa bukanlah jual beli as-Salm yang dibolehkan dalam syariat Islam, karena keduanya berbeda dalam dua hal:
a) Dalam bursa saham harga barang tidak dibayar langsung saat transaksi. Namun ditangguhkan pembayarannya sampai pe-nutupan pasar bursa. Sementara dalam jual beli as-Salm harga barang harus dibayar terlebih dahulu dalam transaksi.
b) Dalam pasar bursa barang transaksi dijual beberapa kali penjualan saat dalam kepemilikan penjual pertama. Tujuannya tidak lain hanyalah tetap memegang barang itu atau menjualnya dengan harga maksimal kepada para pembeli dan pedagang lain bukan secara sungguhan, secara spekulatif melihat untung rugi-nya. Persis seperti perjudian. Padahal dalam jual beli as-Salm tidak boleh menjual barang sebelum diterima.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, Lembaga Pengkajian Fiqih Islam berpandangan bahwa para pemerintah di berbagai negeri Islam berkewajiban untuk tidak membiarkan bursa-bursa tersebut melakukan aktivitas mereka sesuka hati dengan membuat berbagai transaksi dan jual beli di Negara-negara mereka, baiknya hukumnya mubah maupun haram. Mereka hendaknya juga tidak memberi peluang orang-orang yang mempermainkan harga se-hingga menggiring kepada bencana finansial dan merusak pere-konomian secara umum, dan pada akhirnya menimbulkan mala-petaka kepada kebanyakan orang. Karena kebaikan yang sesung-guhnya adalah dengan berpegang pada ajaran syariat Islam pada segala sesuatu. Allah berfirman:
Artinya,"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (Al-An'am: 153).

Allah q adalah Juru Penolong yang memberikan taufik, yang memberi petunjuk menuju jalan yang lurus. Semoga sha-lawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad.

Kartu Kridit
Definisi Kartu Kredit

Definisinya secara bahasa:
Kata bithaqah (kartu) secara bahasa digunakan untuk po-tongan kertas kecil atau dari bahan lain, diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas itu. sementara kata i’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya. Dalam kebiasaan dalam dunia usaha artinya semacam pinjaman, yakni yang berasal dari kepercayaan terhadap pemin-jam dan sikap amanahnya serta kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman untuk dibayar seca-ra tertunda.

Definisi Kartu Kredit Secara Terminologis:
Kartu kredit yaitu: kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang.

Kalau kita terjemahkan kata ‘kredit giro’ ini secara langsung artinya adalah kartu pinjaman. Atau kartu yang memberikan kesempatan kepada pembawanya untuk mendapatkan pinjaman.

Macam-Macam Kartu Kredit

Kartu kredit adalah bagian dari beberapa bentuk kartu kerja sama finansial. Kartu kredit ini terbagi menjadi dua:

1. Kartu Kredit Pinjaman yang Tidak Dapat Diperbaharui (Charge Card)
Di antara keistimewaan paling menonjol dari kartu ini ada-lah diharuskannya menutup total dana yang ditarik secara leng-kap dalam waktu tertentu yang diperkenankan, atau sebagian dari dana tersebut. Biasanya waktu yang diperkenankan tidak lebih dari tiga puluh hari, namun terkadang bisa mencapai dua bulan. Kalau pihak pembawa kartu terlambat membayarnya dalam waktu yang telah ditentukan, ia akan dikenai denda keterlam-batan. Dan kalau ia menolak membayar, keanggotaannya dicabut, kartunya ditarik kembali dan persoalannya diangkat ke penga-dilan.

2. Kartu Kredit Pinjaman yang Bisa Diperbaharui (Revolving Credit Card)
Jenis kartu ini termasuk yang paling popular di berbagai negara maju. Pemilik kartu ini diberikan pilihan cara menutupi semua tagihannya secara lengkap dalam jangka waktu yang ditole-ransi atau sebagian dari jumlah tagihannya dan sisanya diberikan dengan cara ditunda, dan dapat diikutkan pada tagihan berikut-nya. Bila ia menunda pembayaran, ia akan dikenakan dua macam bunga: Pertama bunga keterlambatan, kedua bunga dari sisa dana yang belum ditutupi. Kalau ia berhasil menutupi dana tersebut dalam waktu yang ditentukan, ia hanya terkena satu macam bu-nga saja, yaitu bunga penundaan pembayaran. Dana yang ditarik tidak akan terbatas bila pemiliknya terus saja melunasi tagihan beserta bunga kartu kreditnya secara simultan.

Kartu Debit (Non Kredit / Debit Card)

Yakni kartu-kartu yang terfokus pada pemberian pinjaman kepada para pembawanya. Di antara jenis terpenting dari kartu-kartu ini adalah sebagai berikut:
1. Kartu Debit Langsung.
Yakni kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank bersama organisasi internasional yang mengurusi soal kartu kredit ini, bentuknya adalah kartu yang langsung mendebit rekening untuk mentransfer jumlah dana yang ditarik dari rekening pemiliknya kepada pedagang secara langsung. Adanya kartu ini syaratnya bahwa si pemilik harus terlebih dahulu mempunyai kartu reke-ning atau ATM dari pihak bank bersangkutan. Kalau kartunya sedang On Line Debit, transfer akan berjalan sempurna pada hari tersebut. Namun kartu kredit tersebut sedang Off Line Debit proses transfer tersebut bisa membutuhkan waktu beberapa hari. Kartu ini tidak memberikan pinjaman kepada pemiliknya dan tidak memberikan peluang kepadanya untuk melakukan transaksi pem-belian melebihi jumlah dana yang dia miliki dalam rekeningnya.

Bank yang mengeluarkan kartu ini tidak membayar jumlah dana yang dikeluarkan dari kasnya kepada para pedagang untuk kemudian menagihnya dari pemilik kartu. Namun kartu ini hanya berfungsi mendebit rekening pemilik kartu untuk ditransfer ke rekening pedagang bersangkutan. Fungsinya mirip dengan cek. Kartu Debit semacam ini banyak digunakan di negara-negara maju yang memang berkeinginan menerapkan budaya konsumtif dan mendorong masyarakat agar menabungkan uangnya di bank-bank yang ada.

2. Kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
Yakni kartu yang diberikan pihak bank kepada para nasa-bahnya secara cuma-cuma dengan sekedar membuka rekening di bank bersangkutan, agar pihak nasabah bisa dengan leluasa meng-ambil uangnya melalui rekening yang dimilikinya kapan saja dia menghendaki melalui mesin ATM dan dapat juga digunakan untuk beberapa lokasi penjualan tertentu. Sehingga ia berpeluang mena-rik uang kontan dan mentransfer dana antar ATM berbeda, atau untuk sekedar mengetahui jumlah saldo dan untuk membayar barang-barang yang dibelinya (di lokasi penjualan tertentu), dst. Kartu ini secara otomatis terperbaharui selama rekening pemilik-nya masih terbuka di bank bersangkutan.

Pendudukan Masalah Secara Fiqih Seputar Kartu Kredit .

Sudah jelas bahwa hukum terhadap sesuatu itu didasarkan atas hasil dari persepsi tentang sesuatu tersebut. Sedetail apa pe-ngetahuan kita terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kartu-kartu kredit tersebut, akan menentukan kedetailan kita dalam mendudukkan masalah terhadap berbagai transaksi yang dikenal dalam fiqih Islam dan penjelasan tentang hukum-hukumnya, halal atau haram, serta menetapkan berbagai alternatif pengganti yang disyariatkan bila hasil penelitian menegaskan keharamannya.

Kartu kredit ini membentuk tiga hal terkait yang akan kita ulas secara berurut sebagai berikut:

Pertama: Kaitan Antara Kartu Tersebut Dengan Pihak Bank yang Mengeluarkannya Dalam 'Transaksi Pengeluaran Kartu'.
Banyak sudah kajian fiqih seputar hubungan ini. Banyak sudah pendapat yang lahir seputar persoalan itu dalam berbagai Lembaga Pengkajian Fiqih tentang keberadaan kartu ini sebagai pinjaman dari pihak bank yang mengeluarkannya, atau sebagai jaminan untuk melaksanakan berbagai komitmen terhadap pihak lain, atau menjadi penjamin untuk berhubungan dengan pihak lain.

Kemungkinan gabungan antara jaminan, penjamin dan pinjaman itulah yang paling dekat dengan teori untuk mengulas transaksi ini. Karena itulah yang menjadi tujuan sesungguhnya dari keberadaan kartu itu. Karena sebelum digunakan, kartu itu adalah jaminan, dan janji pinjaman serta penjamin. Namun setelah digunakan dalam arti sesungguhnya dan pihak bank telah menutupi biaya yang dikeluarkan untuk mewakili pihak nasabah, janji tersebut telah menjadi kenyataan sehingga menjadi pinjaman dan penjamin dalam arti sesungguhnya.

Kedua: Hubungan Antara Kartu Ini Dengan Bank yang Mengeluarkan Kartu dan Pihak Pedagang.
Juga sudah banyak ulasan fiqih seputar hubungan ini antara keberadaannya yang mirip dengan pengurangan nilai tukar dengan keberadaannya sebagai jaminan, yakni bahwa pihak yang menge-luarkan kartu telah menjamin pihak pedagang bahwa ia akan membayarkan harga barang jualannya dengan perantaraan kartu tersebut, dan juga keberadaannya sebagai penjamin dengan upah, atau sebagai perantara. Bahkan ada sebagian pihak yang menge-luarkan kartu itu dalam hubungannya dengan jual beli. Jadi yang dijadikan sebagai pihak yang mengeluarkan kartu adalah pembeli yang sesungguhnya dari barang-barang tersebut, kemudian baru dikembalikan kepada nasabah untuk dijual. Jual beli ini mirip dengan jual beli dengan sistem fixed price terhadap orang yang meminta dibelikan barang.

Kemungkinan pendudukan masalah paling menonjol terha-dap dasar jaminan dan penjaminan ini adalah pendudukan masalah yang membuka peluang disyariatkannya transaksi atau pende-betan yang dilakukan pihak bank dalam kasus ini. Karena upah yang dilarang dalam sistem jaminan adalah yang berasal dari pihak yang mendapatkan jaminan untuk yang menjamin. Sementara di sini upah itu berasal dari pihak yang mendapatkan pengaruh dari jaminan, yakni pihak pedagang kepada pihak yang membe-rikan jaminan. Adapun upah dalam sistem jual beli dengan pen-jaminan, dibolehkan dalam kondisi apapun.

Ketiga: Hubungan Antara Pemilik Kartu dengan Pedagang
Sudah berkali-kali juga dikeluarkan kajian fiqih berkaitan dengan hubungan ini, antara keberadaannya sebagai sistem hiwalah , dimana pihak pemegang kartu mengalihkan hutangnya pada pedagang kepada pihak yang mengeluarkan kartu, dimana Hilawah semacam itu dapat direalisasikan dengan menandata-ngani rekening pembelian, antara keberadaan kartu itu yang demikian dengan keberadaannya sebagai mediator jual beli atau sewa menyewa. Sehingga transaksinya dibagi dua, antara posisi jual beli atau sewa menyewa, dengan objek transaksi pembuatan kartu. Kemudian tanggung jawab pembayaran dilimpahkan kepada pihak yang mengeluarkan kartu yang telah menjamin untuk me-nutupi biaya yang ditarik berupa pembelian atau penyewaan.

Penjelasan Global Tentang Hakikat Kartu Kredit

Mungkin pendudukan masalah secara global yang paling mendekati hakikat dari kartu-kartu kredit tersebut adalah bahwa kartu tersebut secara umum tersusun dari beberapa transaksi.

Pertama, transaksi yang mengaitkan antara pihak yang menge-luarkan kartu dengan pihak pemegangnya. Transaksi ini terdiri dari tiga unsur: jaminan, penjaminan dan peminjaman. Pihak yang mengeluarkan kartu telah memberikan jaminan untuk peme-gang kartu tersebut di hadapan pedagang, meminjamkan kepada-nya dana yang dia tarik melalui kartu tersebut, lalu pemegang kartu telah menjadikan pihak bank sebagai penjaminnya untuk melunasi pembayaran tersebut kepada si pedagang.

Kedua, transaksi antara yang mengeluarkan kartu dengan pihak pedagang. Transaksi ini terdiri dari dua unsur saja: Jaminan dan penjaminan. Pihak yang mengeluarkan kartu telah memberikan jaminan kepada pedagang untuk membayarkan semua haknya melalui kartu tersebut, yang kemudian pihak bank akan menagih pembayaran itu dari pemegang kartu nantinya dan memasukkannya ke dalam rekeningnya setelah terlebih dahulu memotongnya dengan biaya administrasi yang disepakati.

Ketiga, Transaksi antara pemegang kartu dengan pedagang yang hukumnya disesuaikan dengan jual beli atau penyewaan yang dilakukan sesuai dengan karakter transaksi di samping sistem hiwalah, yakni pemegang kartu itu melimpahkan pembayarannya terhadap barang jualan pedagang kepada pihak yang menge-luarkan kartu tersebut.

Hukum-hukum Syariat Tentang Kartu Kredit

Kartu-kartu kredit ini mencuatkan beberapa kemusykilan menurut ajaran syariat yang akan penulis paparkan sebagai berikut sebagian di antaranya:
Pertama: Persyaratan Berbau Riba
Transaksi untuk mengeluarkan kartu-kartu tersebut pada umumnya mengandung beberapa komitmen berbau riba yang intinya mengharuskan pemegang kartu untuk membayar bunga-bunga riba atau denda-denda finansial bila terlambat menutupi hutangnya. Apa pengaruh komitmen-komitmen tersebut terhadap sah tidaknya transaksi pembuatan kartu-kartu kredit ini?

Ulama Fiqih kontemporer ketika membahas persoalan ini pandangan mereka terbagi menjadi dua kubu:
Pertama: Kubu yang membolehkan.
Mereka menganggap bahwa transaksi itu sah, namun komitmennya batal. Yakni apabila pihak nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk tidak terjerumus ke dalam konsekuensi menanggung akibat ko-mitmen tersebut. Karena syarat rusak ini pada dasarnya menurut kaca mata syariat sudah batal dengan sendirinya. Syarat ini munkar dan justru harus dilakukan kebalikannya. Dasar mereka yang membolehkan adalah sebagai berikut:
1. Sabda Nabi a kepada Aisyah i ketika Aisyah hendak membeli Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya kecuali dengan syarat, hak wala' budak itu tetap milik mereka. Itu jelas syarat yang bertentangan dengan ajaran syariat, karena loya-litas atau perwalian menurut syariat diberikan kepada orang yang membebaskannya. Nabi a bersabda kepada Aisyah i, "Belilah budak itu, dan tetapkan syarat bagi mereka, karena perwalian itu hanya diberikan kepada yang memerdekakan. Karena perwalian itu adalah hak orang yang membebaskannya,"

Makna hadits: Janganlah pedulikan, karena persyaratan me-reka itu bertentangan dengan yang haq, ini bukan untuk pembo-lehan namun yang dimaksudkan adalah penghinaan dan tidak ambil peduli dengan syarat itu serta keberadaan syarat itu sama dengan tidak ada.

Dari sini dapat dipahami bahwa jika seseorang memaksakan suatu syarat yang bertentangan dengan syariat mengenai akad-akad yang diperlukan secara luas dan ia enggan untuk menetapkan akad tersebut kecuali berdasarkan syarat yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak boleh dihentikan karena pemaksaan itu. Tidak boleh difatwakan mengenai ketidaklegalannya, tetapi tetap harus dilaksanakan. Dan harus diupayakan untuk membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara berusaha menjaga diri agar tidak terperangkap syarat tersebut bila pada satu masa tidak ada penguasa yang menegakkan syariat Allah.
2. Karena sudah terlalu banyak yang melakukannya di ber-bagai negeri dengan adanya transaksi pemakaian listrik, telepon dan lain sebagainya, yang kesemuanya menggunakan komitmen-komitmen yang sama, yaitu apabila pihak pelanggan terlambat membayar berarti harus dikenai denda tertentu. Namun ternyata tidak seorangpun ulama yang mengharamkan berlangganan fasi-litas-fasilitas tersebut, padahal syarat-syarat tersebut ada di dalamnya.

3. Pinjaman tidak begitu saja batal karena batalnya persya-ratan. Bahkan peminjaman itu tetap sah meskipun syaratnya batal, berdasarkan sabda Nabi a:
"Kenapa masih ada orang yang menetapkan syarat yang tidak berasal dari Kitabullah? Barangsiapa yang menetapkan syarat yang bukan berasal dari Kitabullah maka persyaratannya batal, meski jumlahnya seratus syarat."

Kubu kedua, yakni yang melarangnya. Mereka menganggap transaksi tersebut batal. Demikian pendapat tegas dari kalangan Malikiyah dan Syafi'iyah.

Mereka membantah dalil yang digunakan oleh kubu per-tama, yakni tentang hadits Barirah, bahwa qiyas itu adalah qiyas dengan alasan berbeda. Karena dalam kasus Barirah syarat terse-but mampu dibatalkan oleh Aisyah i karena dianggap berten-tangan dengan ajaran syariat. Karena kejadian itu terjadi ketika syariat Islam betul-betul masih menjadi panutan, Negara Islam masih menjadi pemelihara ajaran Islam dan masih memimpin dunia. Bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan syarat berbau riba dalam pengambilan kartu kredit yakni syarat yang bersandar pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan agama dengan negara, lalu mengingkari referensi Islam yang suci yang melibatkan agama dalam kehidupan manusia?

Mereka juga membantah qiyas dengan transaksi pemakai-an listrik dan telepon, karena fasilitas ini amatlah dibutuhkan dan kemaslahatan kehidupan umat manusia amat tergantung kepa-danya.

Sementara kartu kredit memiliki bobot vitalitas yang lebih rendah dari itu. Orang bisa saja hidup secara wajar atau cukup wajar tanpa menggunakan kartu-kartu itu. Namun ia tidak akan bisa hidup wajar tanpa menggunakan fasilitas listrik dan telepon misalnya.

Yang benar menurut kami bahwa hukumnya adalah boleh-boleh saja bagi orang yang berberatsangka bahwa ia akan mampu menunaikan hutangnya pada waktu yang diperkenankan, sehingga dengan demikian ia tidak akan terkena konsekuensi persyaratan itu, tentunya dengan mengupayakan segala cara yang bisa dilaku-kan untuk tujuan tersebut. Wallahu A'lam.

Kedua: Prosentase yang dipotong oleh pihak yang menge-luarkan kartu dari bayaran untuk pedagang
Sudah dimaklumi, bahwa melalui kartu-kartu itu pihak yang mengeluarkan tidak membayar jumlah bayaran yang ditetapkan dalam rekening pembayaran. Namun pihak yang mengeluarkan kartu akan memotong prosentase yang disepakati bersama dalam transaksi yang tegas antara pihak itu dengan pihak pedagang. Apa pendudukan masalah secara syar'i yang paling tepat ber-kaitan dengan hal tersebut?

Ahli fiqih kontemporer berbeda pendapat dalam mengulas tentang jenis kartu tersebut:

Sebagian ada yang mendudukkan prosentase itu sebagai biaya administrasi, upah dari pengambilan pembayaran dari nasabah. Sementara mengambil upah dari usaha pengambilan hutang atau menyampaikan barang yang dihutangkan adalah boleh-boleh saja.

Sebagian ada yang mendudukkanya sebagai upah dari jasa yang diberikan oleh pihak bank kepada pihak pedagang, seperti pesan-pesan, iklan, dan bantuan penyaluran barang atau yang sejenisnya. Bisa juga didudukkan sebagai upah perantara. Karena pihak bank sudah membantu mencarikan pelanggan untuk pihak pedagang, sehingga layak mendapatkan upah karenanya.

Sebagian menganggapnya sebagai kompensasi perdamaian bersama pihak yang memberi hutang dengan jumlah yang lebih sedikit dari yang harus dibayar, karena hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pihak pemegang kartu di bawah sistem jaminan. Cara demikian dinyatakan boleh oleh kalangan Hanafiyah.

Sebagian ada juga yang berpandangan bahwa pengambilan prosentase itu tidak mengandung syubhat sebagai riba secara mendasar. Karena kita dihadapkan dengan persoalan rabat/ discount, bukan tambahan harga. Sehingga tidak ada hal yang menyeretnya kepada bentuk riba.

Apapun pendudukan masalah yang dipilih di sini, peng-kajian fiqih kontemporer tetap berkesimpulan bahwa pengambilan prosentase keuntungan di sini tetap dibolehkan, dengan catatan harus dibatasi sehingga layak disebut sebagai upah jasa yang di-berikan kepada pihak pedagang dan tergambar langsung dalam rekening pembeliannya, dan juga agar dapat menarik para pelang-gan untuk membeli barang kepada pedagang tersebut, memper-mudah proses jual beli mereka, lalu pihak bank yang mengeluar-kan kartu itu dan pihak bank lain yang hanya melakukan transaksi dagang bisa membagi rata upah dari pelayanan tersebut, karena mereka secara bersamaan melakukan jasa tersebut untuk kepentingan pedagang.

Lembaga Syariat Perusahaan Perbankan ar-Rajihi membo-lehkan uang administrasi ini dalam fatwanya nomor 47. lembaga ini menetapkan bahwa tidak ada larangan mengambil prosentase dari harga yang dibeli oleh pemegang kartu, selama prosentase itu dipotong dari upah jasa atau dari harga barang. Sistem pemo-tongan ini diambil dari pihak penjual untuk kepentingan bank yang mengeluarkan kartu dengan perusahaan visa internasional.

Lembaga syariat juga mengeluarkan fatwa yang membo-lehkan pengambilan prosentase keuntungan tersebut, fatwa itu ditujukan kepada Dewan Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yor-dania, dimana uang administrasi yang diambil pihak bank dari pedagang yang menggunakan fasilitas kartu itu dihitung sebagai upah penjaminan karena menjadi penjamin dan mediator antara pedagang dengan pemegang kartu kredit, dan juga karena mediasi itu pihak bank menjadi sebab terjadinya banyak hal, se-perti lakunya barang-barang yang dijualnya, rasa aman yang dirasakan para pelanggan, mendapatkan kesempatan memperoleh piutang dengan selamat. Sebagaimana jaminan itu terkadang juga tidak berpengaruh apa-apa. Karena uang administrasi itu tidak menambah jumlah harga dan juga tidak memperhatikan jumlah harga yang dijaminnya.

Ketiga: Denda Keterlambatan dan Bunga Riba
Pihak yang mengeluarkan kartu ini menetapkan beberapa bentuk denda finansial karena keterlambatan penutupan hutang, karena penundaan atau karena tersendatnya pembayaran dana yang ditarik dari melalui kartu. Denda semacam itu termasuk riba yang jelas yang tidak pantas diperdebatkan lagi. Itu termasuk riba nasi’ah yang keharamannya langsung ditentukan melalui turun-nya ayat al-Qur'an. Bahkan para pelakunya diancam perang oleh Allah dan RasulNya!!.

Bagaimana Mengatasi Problematika Keterlambatan Pem-bayaran Hutang?
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bunga dan denda keterlambatan membayar hutang adalah jelas-jelas riba jahiliyah yang diharamkan. Tidak ada alasan bagi bank-bank Islam untuk menerapkannya sama sekali. Maka bagaimana persoalan keter-lambatan pembayaran hutang itu bisa diatasi dalam bingkai ajaran Islam?

Ada sebagian alternatif untuk bunga-bunga riba dan denda-denda keterlambatan itu yang akan kami sebutkan sebagian di antaranya:

Memberikan kelonggaran kepada pihak yang berhutang, kalau ia adalah orang miskin yang kesulitan mengembalikan hutangnya. Membatalkan keanggotaannya, menarik kartu kredit-nya kemudian mengadukan persoalannya ke pengadilan, lalu melimpahkan kepadanya semua biaya kemelut tersebut. Bisa juga dengan menyebarkan nama pelanggan bersangkutan dalam daftar hitam (black list), diumumkan kepada seluruh bank agar tidak menerimanya sebagai anggota dan juga agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berperilaku sepertinya.

Bolehkah Membeli Emas Atau Perak dengan Kartu Kredit Tersebut?

Emas dan perak hanya bisa dibeli dengan kontan, yakni dari tangan ke tangan. Penyerahan barang dan pembayaran secara langsung merupakan syarat sahnya jenis jual beli kedua barang ini, sebagaimana sabda Nabi a:
"Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga."

Lalu bolehkah membeli emas atau perak dengan kartu kredit?
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa serahterima langsung adalah penyerahan barang dari tangan ke tangan. Dan dalam sya-riat sendiri sifatnya mutlak, pembatasannya dikembalikan kepada kebiasaan yang ada. Lembaga Pengkajian Fiqih Islam telah me-ngeluarkan fatwa dibolehkannya membeli emas atau perak dengan menggunakan cek dengan syarat bahwa serahterimanya diselesaikan saat transaksi. Penyerahan cek itu disetarakan dengan penyerahan uang secara langsung ketika diserahkan kepada pihak bank yang bekerja sama dengan pedagang. Kalau pihak pedagang telah memegang cek tersebut, berarti serah terima barang dan pembayaran yang disyaratkan dalam jual beli kedua barang itu.

Dengan demikian kartu kredit yang bisa juga dijadikan pem-bayaran langsung sehingga bisa digunakan untuk membeli emas atau perak. Sementara alat tukar yang tidak bisa dijadikan pem-bayaran langsung, tidak bisa digunakan untuk membeli kedua barang itu.

Penukaran Uang dengan Kartu Kredit

Asal kartu kredit berfungsi sebagai kartu internasional, dan pemegangnya bisa menggunakannya di Negara manapun. Kalau ia menarik dananya dengan menggunakan mata uang asing yang berbeda nilainya dengan mata uang yang dijadikan alat transaksi dalam kalkulasi nanti, maka pihak yang mengeluarkan kartu akan menutupi biaya pengeluaran dengan mata uang asing itu, kemu-dian memperhitungkannya atas nasabahnya itu dengan mata uang lokal dengan menggunakan harga penukaran yang disepakati bersama. Namun bolehkah membayar hutang dengan menggunakan mata uang yang berbeda dengan mata uang yang dijadikan hutang?

Tidak diragukan lagi bahwa serahterima langsung meru-pakan syarat sahnya penukaran uang, berdasarkan sabda Nabi a:
"Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga."

Penukaran uang di atas tanggungan (hutang) adalah boleh asal harganya dengan harga saat itu, bila kedua orang penukar berada di lokasi berbeda, dan tidak ada hutang piutang di antara mereka berdua. Yakni disyaratkan agar salah seorang di antara mereka tidak memiliki tanggungan terhadap yang lain.

Penukaran dengan cara ini terkadang dilakukan antara uang yang berada dalam kepemilikan namun tidak ada dalam lokasi transaksi, dengan uang yang ada di lokasi transaksi, atau bisa juga antara dua jenis mata uang yang sama-sama dalam kepemilikan dan tidak ada dalam lokasi transaksi. Kasus ini disebut penggun-tingan atau penukaran hutang . Pengguntingan ini hanya bisa dila-kukan pada sebagian kecil penukaran saja, sementara sisanya ditutupi mata uang lain, sehingga ketika berpisah sudah tidak ada hitung-hitungan lagi.

Dasarnya adalah hadits Ibnu Umar p yang menceritakan, "Kami pernah menjual unta di Naqie'. Kami menjualnya dengan uang emas, lalu mendapatkan bayaran dengan uang perak. Atau menjualnya dengan uang perak, dan mendapatkan bayaran dengan uang emas. Aku menanyakan hal itu kepada Rasulullah a, beliau menjawab, "Boleh saja, asal dijual dengan harga hari itu juga, apabila kalian keluar dari transaksi tanpa ada apa-apa di antara kalian. "

Dengan demikian boleh saja melakukan tansaksi dengan perbedaan mata uang ini, dengan catatan bahwa kalkulasinya dilakukan berdasarkan harga penukaran hari standar atau hari pengguntingan. Yakni hari pendebetan rekening yang dimiliki oleh pemegang kartu.

Uang Administrasi Penarikan Uang Tunai

Di antara jenis kartu kredit ada yang bisa digunakan untuk menarik uang tunai dari rekening bank bersangkutan. Biasanya pihak bank akan mengambil uang administrasi dari pengambilan uang tunai itu. Sejauh mana uang administrasi itu dibolehkan?

Para ulama fiqih kontemporer berbeda pendapat tentang hukum uang-uang administrasi semacam itu, berdasarkan perbe-daan jenis penarikan itu, apakan sekedar penarikan uang tunai dari rekening pemegang kartu saja, atau ada unsur pinjaman?

Di antara ulama ada yang berpandangan bahwa hukum uang-uang administrasi itu boleh, karena tidak lebih dari sekedar upah, imbalan dari pentransferan uang nasabah dari rekeningnya menuju berbagai lokasi dimana uang itu digunakan, yang tentu saja membutuhkan biaya operasional. Jadi kedudukannya adalah sebagai upah transfer uang dari satu negeri ke negeri lain. Hanya saja sistem transfer tersebut terbalik. Karena pihak bank yang mewakili pihak yang mengeluarkan kartu kredit itu terlebih dahulu membayarkan uang, kemudian baru memintanya dari pihak yang memegang kartu untuk merealisasikan syarat pembayaran langsung dalam penukaran mata uang ini. Jarak yang ada antara penye-rahan uang kontan dengan penutupan hutang tidaklah menjadi tujuan dalam proses ini, juga bukan termasuk penentunya. Inilah pendapat yang akhirnya dipilih oleh Lembaga Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yordania.

Ada juga yang berpendapat bahwa uang administrasi dalam kasus ini haram hukumnya. Karena proses penarikannya bersifat hutang atau peminjaman dari pihak pemegang kartu, atau dari pihak bank yang mewakilinya. Maka uang yang diambil sebagai imbalannya termasuk riba yang diharamkan. Inilah pendapat yang diambil oleh bank ar-Rajihi.

Menurut kami yang paling benar adalah harus dibedakan antara dua kondisi berbeda:
Pertama: Kalau penukaran itu melalui penarikan dana langsung dari rekening nasabah, lalu diambil uang administrasi-nya, cara demikian disyariatkan. Demikian juga apabila pihak bank yang mengeluarkan kartu memiliki uang di bank yang mewakili sehingga bisa menutupi biaya dana yang ditarik ter-sebut.
Kedua: Ketika bentuknya adalah pinjaman. Maka imbalan yang diambil ketika itu adalah riba yang diharamkan. Demikian juga apabila rekeningnya adalah rekening bebas, atau dana yang ada tidak cukup untuk menutupi biaya yang ditarik, wallahu a'lam.

Tidak diragukan lagi bahwa keharaman dalam kasus ini berkaitan dengan hubungan antara pihak bank yang menge-luarkan kartu dengan bank yang mewakilinya. Adapun nasabah sendiri, kerjanya hanya menarik dana yang dititipkan pada pihak yang mengeluarkan kartu. Uang administrasi yang dia keluarkan adalah upah dari kesulitan yang dihadapi pihak yang menge-luarkan kartu, dengan upaya dan segala tanggungjawab berikut biaya yang juga harus dikeluarkan untuk tujuan itu. Pihak nasa-bah tidak memiliki kaitan dengan urusan antara pihak bank yang mengeluarkan kartu dengan bank yang mewakilinya.

HAK CIPTA KARYA TULIS
Pengertian
Maksudnya adalah sejumlah keistimewaan yang dimiliki oleh seorang penulis/pengarang yang bisa dihargai dengan uang, terkadang disebut: hak-hak abstrak, kepemilikan seni atau sastra, atau hak-hak intelektualitas.

Hak finansial yang dimiliki seorang penulis adalah harga ko-mersial dari tulisan atau karangannya. Harga tersebut dibatasi oleh mutu dan keuntungan komersial yang bisa direalisasikan dengan menerbitkan hasil tulisan tersebut dan mengkomersial-kannya.

Fenomena hak cipta ini tidak pernah muncul di tengah masyarakat Islam pada masa-masa dahulu, meskipun berbagai jenis tulisan demikian berkembang luas dan merambati segala bidang. Karena para penulis biasanya hanya mengharapkan paha-la dari Allah saja dari apa yang mereka tulis. Tujuannya mereka adalah menyebarkan manfaat tulisan mereka di setiap tempat, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Kalaupun terka-dang mereka mendapatkan kedudukan atau mendapatkan seba-gian hadiah, semua itu mereka peroleh secara kebetulan saja, tanpa dirindukan oleh diri mereka dan tanpa diharapkan oleh jiwa mereka.

Sejarah Islam dahulu dan juga pada masa-masa perkem-bangan dunia tulis menulis dalam berbagai disiplin ilmu sudah mengenal sebuah aturan untuk mengabadikan nama-nama penu-lisnya dan menuliskannya di kulit buku. Mungkin pusat penga-badian nama-nama penulis terbesar pada masa itu adalah Darul Ilmi di Baghdad yang reputasinya sudah tersiar dimana-mana, sehingga banyak orang yang datang mengunjunginya untuk lebih mengenal isi perpustakaan tersebut.

Para ulama kontemporer juga telah membolehkan meng-ganti rugi hak cipta, karena penulis memiliki hak tertentu. Kaidah-kaidah ajaran syariat juga memberi konsekuensi pemeliharaan hak-hak para pemilik hasil cipta. Dengan demikian, kepemilikan itupun bisa berpindah kepada orang lain dengan mediator yang berfungsi memindahkan kepemilikan, seperti jual beli, warisan dan sejenisnya.

Menjual Hak Cipta
Kalangan ulama kontemporer bersepakat bahwa hak-hak cipta itu menurut syariat terpelihara. Para pemiliknya bebas mem-perlakukan hak cipta itu sekehendak mereka. Tak seorangpun yang berhak melanggarnya, namun dengan syarat, jangan sampai dalam karya-karya tulis itu ada yang melanggar syariat Islam yang lurus. Itulah yang menjadi keputusan akhir dari Lembaga Pengkajian Fiqih Islam yang lahir dari Organisasi Muktamar Islam pada pertemuan ke lima di Kuwait tahun 1409 H, bertepatan dengan tahun 1988 M.

Seorang penulis berhak memberikan atau tidak memberikan hak cetak. Dia juga yang berhak membatasi jumlah oplah yang akan dicetak. Penerbit yang mencetak dan memasarkan buku ter-sebut hanya berfungsi sebagai wakil dari penulis untuk meme-nuhi hak-haknya dari pihak yang berhak mengambil keuntungan.

Dalil-dalil Syariat yang Menunjukkan Sahnya Menjual Hak-hak Cipta
Pertama: Dalil mencari kemaslahatan. Pendapat yang me-nyatakan bahwa hak cipta penulisan itu bernilai dan layak dipa-sarkan dapat melanggengkan kemaslahatan umum. Dalam arti, dalam diharapkan keberlanjutan pengkajian ilmiah dan mendo-rong para ulama dan ahli ijtihad untuk melanjutkan penelitian mereka, sementara tulisan dan hak cipta mereka tetap terpelihara dari permainan orang yang tidak bertanggungjawab. Syariat Islam diturunkan untuk merealisasikan kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Dimana ada kemaslahatan, di situ ada ajaran Islam.

Kedua: Dalil kebiasaan. Terjadinya persoalan ini dan kesepa-katan kaum muslimin melakukannya merupakan dalil bahwa mereka sudah mengetahui dibolehkannya urusan itu. Jelas bahwa kebiasaan itu memiliki pengaruh pada hukum syariat, kalau tidak bertentangan dengan nash. Karya ilmiah itu memiliki nilai jual secara terpisah, tidak berkaitan dengan intelektualitas penulisnya. Itu merupakan hak yang permanen, bukan sekedar hak semata. Berarti hak itupun bisa berpindah dan bisa dijualbelikan, bila di-rusak atau dihilangkan, harus dipertanggungjawabkan dan di beri ganti rugi.

Ketiga: Pendapat yang dinukil dari sebagian ahli hadits yang membolehkan mengambil upah dalam menyampaikan atau mengajarkan hadits. Para ulama ahli hadits biasanya membolehkan siapa saja yang mereka kehendaki untuk meriwayatkan hadits-hadits mereka, dan melarang sebagian lain yang tidak mereka kehendaki, bila orang-orang tersebut dianggap tidak memiliki kompetensi di bidang periwayatan. Dari sebagian ulama ahli hadits juga diriwayatkan dibolehkannya mengambil upah dalam menga-jarkan hadits, diqiyaskan dengan dibolehkannya mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur'an.

Ibnu Shalah menyatakan, "Barangsiapa mengambil upah dari mengajarkan hadits, riwayatnya menjadi tidak bisa diterima menurut sebagian imam ahli hadits." Sementara Abu Nuaim al-Fadhal bin Dzukain dan Ali bin Abdul Aziz al-Makki dan para ulama lainnya masih membolehkan mengambil upah dari me-nyampaikan hadits, karena serupa dengan mengambil upah dari mengajarkan al-Qur'an dan sejenisnya. Hanya saja dalam kebia-saan ahli hadits hal itu dianggap merusak citra. Bahkan pelakunya bisa dicurigai, kecuali bila ada alasan tertentu yang mengiringinya sehingga bisa dimaklumi. Seperti yang disebutkan bahwa Abul Husain bin an-Naqur melakukan perbuatan itu karena Abu Ishaq memberikan fatwa dibolehkannya mengambil upah dari meng-ajarkan hadits."

Kalau kebiasaan para ulama pada masa itu menganggap mengambil upah dari mengajarkan hadits itu termasuk perusak citra, sekarang kebiasaan sudah berubah karena perbedaan zaman dan tempat. Sehingga hukum yang didasari kebiasaan tersebut juga bisa berubah.

Keempat: Qiyas seorang produsen atau pembuat barang bisa menikmati hasil karyanya, memiliki kebebasan dan kesem-patan untuk orang lain memanfaatkannya atau melarangnya. Maka demikian juga seorang penulis, karena ia telah menyatukan antara membuat dengan memproduksi satu karya ilmiah, telah berkonsentrasi dan mengerahkan waktu serta tenagannya untuk tujuan itu.

Kelima: Kaidah Saddudz Dzara-i' (Menutup Jalan Menuju Haram). Karena pendapat yang menyatakan dibolehkannya menjual hak cipta penulisan mengandung upaya memberikan dorongan bagi para pemikir dan para ulama untuk semakin produktif dan semakin giat melakukan penelitian ilmiah. Bahkan juga bisa memompa semangat mereka untuk menciptakan hal-hal baru dan melakukan reformasi. Apalagi mereka atau sebagian besar mereka hanya memiliki bidang ilmiah itu sebagai sumber penghasilan mereka. Menggugurkan nilai jual dari karya tulis itu sendiri bisa menyebabkan mereka meninggalkan pekerjaan tersebut dan ber-alih ke pekerjaan lain untuk menjadi sumber penghidupan mere-ka. Hal itu tentu saja menyebabkan umat kehilangan kesempatan mendapatkan hasil dari karya mereka, bahkan menyebabkan matinya gairah untuk menulis pada banyak kalangan peneliti ilmiah. Jelas yang timbul adalah kerusakan yang besar.

Keenam: Dasar ditetapkannya nilai jual adalah adanya mutu yang dibolehkan syariat. Mutu dari karya ilmiah bagi umat masa kini dan masa mendatang amat jelas sekali. Kalau para ulama telah mengakui nilai jual dari berbagai fasilitas yang lahir dari sebagian jenis hewan, seperti ulat misalnya, atau kicauan burung, suara beo misalnya, manfaat atau fasilitas yang berasal dari karya tulis tentu lebih layak lagi memiliki nilai jual. Manfaat yang seharusnya dinikmati oleh pemiliknya. Manfaat itu lebih layak diperhatikan, karena lebih besar hasilnya dan lebih banyak faedahnya.

Berpindahnya Hak Cipta Melalui Pewarisan
Kalau nilai jual sebuah karya tulis telah diakui dan boleh dialihkan melalui jual beli misalnya, maka hak itu juga bisa dipindahkan melalui pewarisan. Hak royalti seorang penulis dari hasil karya tulisnya bisa diwariskan. Karena hak cipta karya tulis itu adalah hak permanen pada objeknya, yakni buku sebagai hasil cetak karyanya. Itu termasuk hak yang bisa berpindah melalui pewarisan.

Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu terlama para ahli waris dapat mengambil hak cipta pemikiran itu adalah enam puluh tahun dari mulai wafatnya penulis yang mewariskannya. Itu diqiyaskan dengan lamanya hak pengambilan manfaat yang dikenal dalam ilmu fiqih, yakni pemanfaatan hakr. Yakni menum-pang tinggal di tanah waqaf untuk bercocok tanam atau untuk membangun rumah dengan cara penyewaan jangka panjang. Mungkin dasar qiyas ini adalah karena karya pemikiran ini juga disebut ibtikar, karena bersandar pada warisan para ulama as-Salaf yang merupakan hak umum bagi umat ini, bisa disejajarkan de-ngan waqaf dalam skala umum. Sehingga hasil pemikiran itu juga merupakan hak umum, salah satu dari unsur pusaka umat sepan-jang waktu.

Beberapa Bentuk Aplikasi Pemanfaatan Hak Cipta Karya Tulis
Tidak ada batasan dalam cara memanfaatkan hak cipta yang bisa dilakukan seorang penulis. Namun seluruh cara yang bisa digunakan dapat dibulatkan ke dalam tiga bentuk aplikasi:

Mengalah dengan mengambil hak secara penuh dengan hanya mengambil sejumlah uang tertentu mengikuti kebiasaan dengan sistem prosentase dari keuntungan atau dari harga jual buku.

Penulis sendiri yang mengambil hak karyanya secara penuh dengan mencetak dan menerbitkannya ke tengah masyarakat.
Mengambil prosentase tertentu dari harga penjualan naskah asli buku-bukunya.

Bagaimana Membatasi Jumlah Pengambilan Keuntungan dari Penjualan Hak Cipta Karya Tulis?
Hak cipta karya tulis adalah hak yang memiliki karakter yang khas. Masyarakat Islam telah memiliki kebiasaan memberi batasan jumlah keuntungan yang diambil oleh pihak pencetak dan penerbit sesuai dengan jumlah oplah yang disetujui dalam perjanjiannya. Kepemilikan dari keuntungan itu menjadi hak, bukan sekedar amanah belaka. Tidak ada dalil dalam ajaran syariat yang melarang menjadikan cara ini sebagai sarana mem-peroleh keuntungan. Setiap yang dianggap jual beli oleh masyara-kat, maka ia adalah jual beli. Setiap jual beli yang hanya dilakukan dengan satu cara, maka tidak ada larangan untuk melakukan jual beli itu dengan cara tersebut.

Berdasarkan hal itu, seorang pembeli buku hanyalah memi-liki lembaran-lembaran dalam naskah yang dia beli. Haknya hanya terbatas pada itu saja. Ia boleh menjualnya dan memper-lakukan buku itu sekehendak hatinya.


Penulis tidak berhak memberikan hak penerbitan bukunya itu selama masa perjanjian yang disepakati dengan pihak penerbit, kecuali bila penerbit itu mengizinkannya.

KESIMPULAN
Transaksi-transaksi Kontemporer
Bursa
Bursa adalah sebuah pasar yang terorganisir. Di pasar itu dilakukan praktek jual beli kertas saham dan hasil bumi. Pasar ini juga melibatkan kalangan broker yang menjadi perantara antara penjual dan pembeli.

Transaksi dalam bursa ditinjau dari waktunya terbagi menjadi dua: transaksi instant dan transaksi berjangka. Ditinjau dari sisi objek terbagi menjadi transaksi terhadap barang komoditi (bursa komoditi) dan terhadap kertas-kertas saham serta surat berharga lainnya (bursa efek).

Hukum-hukum Syariat Tentang Transaksi Bursa
-Transaksi instant terhadap objek saham bila saham itu me-rupakan milik penjual maka transaksi itu sah, selama yang menjadi objeknya bukan barang haram.
-Transaksi instant maupun berjangka terhadap giro piutang dengan berbagai jenisnya tidak boleh, karena itu termasuk jenis riba.
- Transaksi berjangka dengan berbagai jenisnya terhadap objek terbuka seperti yang dalam bursa tidak boleh, karena ter-masuk di dalamnya orang yang menjual apa yang tidak dimilikinya. Juga tidak bisa disejajarkan dengan jual beli as-Salm, karena tidak ada pembayaran uang di muka.

Kartu Kredit
Yakni kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya sehingga memungkinkan pihak pemegangnya untuk memperoleh kebutuhannya berupa barang-barang, pelayanan dan lain seba-gainya secara hutang.

Kartu kredit ini ada dua macam: Kartu kredit pinjaman yang tidak bisa diperbaharui dan yang tidak bisa diperbaharui. Apabila pihak nasabah terlambat membayar hutangnya pada kartu kredit jenis yang tak bisa diperbaharui, keanggotaannya dicabut, kartu-nya ditarik dan persoalannya diangkat ke pengadilan. Namun kalau terlambat pembayarannya dengan kartu yang dapat diper-baharui, ia diberikan dua denda: Karena keterlambatan dan kare-na penagguhan. Namun penggunaan kartu dapat dilanjutkan.

Pendudukan Masalah Kartu Kredit
Kartu kredit ini membentuk tiga macam hubungan:
- Hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pemegangnya. Yang paling dekat bila hubungan ini didudukkan sebagai hubungan jaminan, peminjaman dan penjaminan.
- Hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pedagang. Yang paling jelas, kedudukan hubungan ini adalah atas dasar penjaminan dan jaminan.
- Hubungan antara pemegang kartu dengan pedagang, kedudukannya ditentukan oleh jual beli atau penyewaan sesuai dengan karakter yang disepakati antara mereka berdua, selain juga ada sistem hiwalah (pengalihan pembayaran).

Hukum Syariat Tentang Kartu Kredit
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum syariat kartu-kartu kredit tersebut berdasarkan perbedaan pendapat mereka terhadap pengaruh dari syarat riba atau syarat rusak terhadap sahnya suatu transaksi. Karena umumnya transaksi pengeluaran kartu ini mengandung komitmen-komitmen berbau riba yang mengharuskan pelanggan membayar bunga riba atau denda fi-nansial akibat keterlambatan menutupi pembayaran hutangnya.

Sebagian ulama berpandangan bahwa kartu tersebut dibo-lehkan namun syarat-syarat tersebut dianggap tidak sah, yakni bagi orang yang meyakini bahwa ia tidak akan terjerumus dalam jebakan syarat tersebut. Karena syarat-syarat tersebut dalam sya-riat sudah terbatalkan dengan sendirinya.

Ada juga ulama yang tidak membolehkan kartu tersebut karena adanya syarat-syarat tersebut.

Adapun prosentase keuntungan yang diambil oleh pihak yang mengeluarkan kartu dari pihak pedagang, itu bisa diduduk-kan sebagai uang administrasi (uang jasa) sebagai imbalan dari diberikannya pembayaran pihak pelanggan kepadanya. Beberapa lembaga syariat masa kini telah mengeluarkan fatwa yang mem-bolehkannya.

Dibolehkan membeli emas atau perak dengan kartu kredit karena serah terima barang dan pembayaran dapat direalisasikan dalam kasus ini.

Dana yang ditarik melalui kartu kredit ini juga bisa dihitung dengan mata uang lain asal kalkulasinya diselesaikan berdasarkan standar harga penukaran hari penutupan, yakni hari ditutupnya rekening yang dibawa oleh pemegang kartu kredit.

Hak Cipta Karya Tulis
Artinya adalah sejumlah keistimewaan yang diciptakan oleh penulis yang dapat diberikan nilai jual. Para ulama kontemporer telah bersepakat bahwa hak cipta karya tulis itu dipelihara menurut syariat. Para pemiliknya berhak mempergunakannya. Tak seorangpun yang berhak melanggar hak cipta itu. Kecuali kalau dalam buku-buku itu mengandung unsur atau hal yang bertentangan dengan ajaran syariat yang lurus.

Hak-hak cipta karya tulis itu juga bisa berpindah melalui pewarisan. Sebagian ulama berpandangan bahwa waktu terlama para ahli waris dapat menggunakan hak itu adalah enam puluh tahun dari tanggal wafatnya sang penulis yang memberikan warisan, diqiyaskan dengan batas terlama dari penggunaan man-faat yang dikenal dalam fiqih Islam.


zxc

Tidak ada komentar: